Oleh I WAYAN SUYADNYA

[CCFS] – Apa yang harus kita lakukan terhadap pernyataan dari sekelompok masyarakat Bali yang menentang pariwisata dengan mengatakan bahwa pariwisata itu merusak budaya dan justru menenggelamkan masyarakat Bali pada ketidakmampuan menikmati “kue” pariwisata tersebut; dan di satu sisi ada sebuah pernyataan dari kelompok lain yang menyatakan bahwa pariwisata itu tidak akan merusak budaya Bali. Pernyataan pertama mencerminkan sebuah pandangan peneguhan akan identitas masyarakat Bali yang dinilai semakin hari memliki kemampuan berevolusi atau beradaptasi dengan identitas baru. Pernyataan kedua, merupakan pandangan kelompok yang menilai budaya masyarakat Bali memiliki mekanisme kebijakan selektif terhadap tradisinya. Pernyataan kedua mendapatkan dukungan dari beberapa ahli ekonomi yang menyatakan bahwa budaya sebagai modal pariwisata Bali, dan sebagai ujungnya pernyataan kedua tersebut diakhiri dengan pandangan secara ekonomis pariwisata memberikan kontribusi terhadap kemiskinan. Perdebatan tersebut terjadi pada tahun 1980-an mengenai arah dan masa depan budaya Bali pasca keterhubungan dengan pariwisata global. Perdebatan ini telah memicu pada perdebatan bagaimana skala atau tingkat kesejahteraan yang disumbangkan oleh pariwisata internasional pada masyarakat lokal. Dengan meneliti secara konseptual, saya mencoba membalik pandangan dan proses kemiskinan dan hubungannya dengan pariwisata.

Sebagai pendahuluan, saya ingin memberikan sebuah gambaran mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan kemiskinan tersebut. Secara konseptual kemiskinan adalah suatu gambaran ketidakberdayaan seseorang untuk memperoleh akses dalam bidang-bidang kehidupan, yang berupa ketidakmampuan untuk mendapatkan akses pokok atau dasar yaitu berupa ketidakmampuan untuk mendapatkan sandang, pangan dan papan secara layak. Seorang individu atau masyarakat juga dapat dikatakan miskin dikarenakan ketidakmampuannya untuk memperoleh akses kesehatan, pendidikan, informasi dan komunikasi dalam rangka untuk memenuhi standar kehidupan yang layak secara ekonomis.[2] Secara ekonomis, kemiskinan seringkali dihadapkan pada standar baku berupa kelayakan jumlah penghasilan yang diterima oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama periode waktu tertentu, biasanya dalam hitungan hari/bulan/tahun. Penghasilan ini selanjutnya dikonversikan dengan besaran konsumsi yang dikeluarkan seseorang (termasuk keluarganya). Pandangan ini telah mendorong perhitungan secara matematis tentang tingkat kemiskinan berupa ketidakcukupan penghasilan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya (Nanga dalam Suharto 2006).

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik, pada tahun 1984, mempublikasikan pengukuran tingkat kemiskinan. Publikasi ini menginterpretasikan bahwa penduduk yang dikatakan miskin adalah penduduk yang berada dibawah suatu batas (selanjutnya disebut dengan garis kemiskinan).[3] Bervariasinya alat ukur kemiskinan secara ekonomis ini cenderung menimbulkan perdebatan dalam penentuan siapa yang miskin. Saat ini, tingkat ukuran tersebut menimbulkan masalah dan juga menjadi komoditas politik di Indonesia. Sebagai contoh adalah kasus kericuhan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dari gambaran singkat tersebut, kemiskinan sampai saat ini secara teoritis, para ahli belum menemukan pandangan yang sama mengenai kategori kemiskinan tersebut.

Ada baiknya menyimak pendapat yang dikemukakan oleh Suharto (2006), bahwa kemiskinan adalah suatu hal yang multidimensional karena memiliki posisi yang relatif dalam berbagai sudut pandang ilmu. Akan tetapi, selama 65 tahun merdeka, belengu bangsa ini untuk melepaskan diri dari kemiskinan sangatlah terasa semakin jauh dari harapan pendiri bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD’1945 yaitu mewujudkan kesejahteraan umum. Begitu banyak program pengentasan kemiskinan telah dicanangkan oleh pemerintah mulai dari progran rehabilitasi sosial, cash programme, pemberdayaan ekonomi (economic empowerment) dan recovering programme yaitu dengan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat ternyata belum memberikan perubahan nyata.[4] Program-program pendek seperti Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) tetap juga belum menemukan sasaran dan model yang sesuai.

Meskipun kebijakan resmi dan tekanan pemerintah dalam upaya mengurangi kemiskinan sudah berlangsung selama puluhan tahun, pemerintah tampaknya masih belum berhasil usahanya dalam mengatasi kemiskinan ini. Secara kuantitas, menurut BPS, kemiskinan sudah dapat tertanggulangi akan tetapi secara kualitas (entah karena penggambaran media massa yang kuat) menimbulkan kekuatiran sendiri dalam memahami fenomena kemiskinan ini. Selama ini model “pengentasan” kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah dengan menerapkan strategi pengentasan kemiskinan secara ekonomi dengan model secara ekonomis pula. Pemerintah telah mendorong percepatan pengentasan kemiskinan dengan mendorong dibukanya investasi berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri. Strategi ini dengan harapan akan membuka peluang dan kesempatan kerja bagi masyarakat Indonesia (masyarakat lokal). Salah satu industri yang dikembangkan oleh pemerintah adalah Industri pariwisata. Menurut Tourism Highlight 2009, pertumbuhan pariwisata tahun 2008 mencapai 944 Milyar USD. Artinya, jumlah dana yang ada dalam sektor pariwisata sangat besar dan sampai saat ini peluang untuk mengaksesnya sangatlah besar. Namun demikian, akses untuk investasi tersebut sangatlah sulit karena untuk memperebutkan investasi tersebut posisi Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara khususnya dan dunia secara umummnya.

Secara ekonomis, pariwisata memang memiliki kemampuan untuk menyerap investasi dan menciptakan lapangan kerja yang besar bagi masyarakat dunia. Sebagai industri jasa, pariwisata merupakan industri yang menganut pola kerja jaringan dengan sector lainnya seperti sektor pertanian, sarana/prasarana, transportasi dan komunikasi serta yang tidak kalah pentingnya adalah sektor keamanan. Wacana yang berkembang bahwa pariwisata merupakan usaha di luar gas bumi dan minyak bumi yang mampu mendatangkan devisa bagi negara benar-benar berhasil membuat euphoria masyarakat Indonesia. Data selama kurun waktu 2004-2008 mencatat bahwa pariwisata telah berhasil menyerap tenaga kerja sebesar 17 juta kesempatan kerja. Namun demikian, pelaksanaan yang terjadi di daerah (apalagi pasca otonomi daerah diberlakukan) banyak yang kurang sesuai dengan kenyataan. Tujuan utama pariwisata yaitu mengembangkan dan memperluas diversifikasi usaha dan kualitas pariwisata dengan mengandalkan potensi dan kemampuan masyarakat lokal sangat sulit untuk dilaksanakan, terutama dilihat dari kurang siapnya pemerintah memberikan kesempatan masyarakat lokal untuk mengelola dan mengembangkan potensi usaha wisatanya (Kusworo 2004; Ngastawa 2003; Nasikun 2000).

Ada satu hal yang patut dicatat bahwa perkembangan sektor pariwisata pada kurun waktu 10 tahun terakhir ini, yang tidak diikuti oleh kebijakan di bidang lain, memberikan andil bagi pelembagaan dan kompleksitas munculnya masalah lingkungan hidup (degradasi lingkungan, berkurangnya lahan pertanian, penggunaan lahan hijau), budaya dan masalah sosial seperti keamanan lingkungan dan kemiskinan. Sejalan dengan permasalahan tersebut, sebenarnya muncul pertanyaan yang hendak saya diskusikan dalam tulisan ini yaitu apakah pengeluaran wisatawan itu menguntungkan bagi penduduk lokal? Atau dengan kata lain sejauhmana pariwisata berperan dalam penurunan angka kemiskinan suatu daerah. Pertanyaan di atas sebenarnya muncul sejalan dengan pesatnya perkembangan pariwisata yang membawa kosekuensi berubahnya lingkungan fisik, sebagai penurunan kualitas lingkungan, berubah fungsinya lahan hijau/lahan tak terbangun menjadi lahan terbangun yang disertai dengan perubahan pemanfaatan tata ruang). Perubahan non-fisik memang kebanyakan sulit dilihat karena cenderung melibatkan banyak factor dan korelasi hubungan antar factor yang kadang kelihatannya tidak selalu terkait satu sama lainnya (Marpaung 2002). Salah satunya adalah munculnya fenomena kemiskinan dalam gemerlap pariwisata daerah. Dalam tulisan ini, saya akan membahasnya bukan dari perspektif ekonomis, akan tetapi berdasarkan atas kajian sosiologis dan antropologis yang saya tekuni.

Wacana dan Mitos Pariwisata

Ketika saya kecil, saya masih ingat bagaimana pemerintah melakukan promosi besar-besaran mengenai pariwisata di tahun 1991-1992 dengan Visit Indonesian Year-nya. Saya mulai diperkenalkan bahwa Indonesia (dan Bali secara lebih spesifik) memiliki modal berupa tanah yang subur, pemandangan yang indah dan budaya yang beragam. Menurut pemerintah waktu itu, bahwa asset-aset tersebut adalah modal yang dapat digunakan untuk meningkatkan devisa negara dari sektor non-migas. Sekian tahun wacana dan hegemoni ini telah menyusupi pemikiran saya dan pada saat saya melakukan penelitian untuk mencari budaya yang otentik yang tidak mendapatkan pengaruh atau budaya yang tidak disponsori oleh pemerintah, saya hampir putus asa untuk mendapatkannya. Lokasi pada Bali di daerah pegunungan utara dan timur Bali, memberikan saya sebuah pemahaman bahwa tidak ada sesuatu apapun yang terlepas dari konsep pariwisata pada masyarakat Bali.

Wacana inilah yang mendorong ketertarikan saya untuk mendalami, bagaimana aset dan modal budaya yang berlimpah ini belum mampu untuk menanggulangi proses kemiskinan. Setiap komponen masyarakat ketika saya menanyakan apa yang menarik dalam kehidupan saat ini, hampir sebagian besar mengatakan bahwa pariwisata adalah hal yang penting mereka ingat. Dari refleksi tersebut, asumsi yang berkembang bahwa penanaman ide yang dilakukan pemerintah bahwa pariwisata adalah sebagai bagian dari karakteristik dan budaya masyarakat Bali bisa dikatakan berhasil. Namun, jika diperhatikan dengan lebih seksama, banyak pihak menilai bahwa pariwisata dinilai gagal sebagai motor penggerak pembangunan, dan sebalikna justru pariwisata dianggap sebagai sumber bentuk baru pelembagaan pemiskinan atau keterbelakangan dan ketergantungan negara-negara berkembang (third worlds). Kegagalan ini lebih utama disebabkan karena kebocoran dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata tersebut. Kebocoran tersebut terjadi mulai dari pemilikan jaringan internasional, tours operators, perusahaan penerbangan, sampai dengan importansi modal, tenaga kerja professional dan teknologi (Nasikun 2004). Sehingga dengan demikian kritikus yang anti pariwisata telah menganggap bahwa pariwisata memberikan andil dalam menjebak negara dunia ketiga dalam perangkap yang diterapkan oleh negara-negara pemilik modal.

Perkembangan pariwisata yang ada di Indonesia memang cenderung bersifat mass tourism.[5] Walaupun sudah ada banyak isu dan perubahan yang menginginkan pariwisata di bawa kea rah pariwisata kerakyatan, pariwisata hijau, pariwisata berbasis pedesaan ataupun ekowisata (eco-tourism). Akan tetapi spirit pariwisata Indonesia saya nilai sampai saat ini masih belum bisa lepas dari isu pariwisata massal ini. Tarikan dari dominasi kepentingan wisatwan mancanegara dengan pemodal asing ikut berperan dalam menentukan kepentingan infrastruktur pariwisata nasional. Sehingga yang muncul adalah rasa kepemilikan (sense of belonging) atas pariwisata oleh masyarakat lokal sangat kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Suprapta (20003), Wijaya (2003) menunjukkan bagaimana pariwisata justru memunculkan pemiskinan di kantong-kantong masyarakat pariwisata seperti di Bali. Pemerintah telah mengklaim bahwa pariwisata mass tourism ini telah ditinggalkan akan tetapi kenyataan yang terjadi di lapang bahwa pembangunan pariwisata masih berlangsung kurang melibatkan peran serta masyarakat. Pasca otonomi daerah dimana kebijakan pariwisata diserahkan kepada pemerintah daerah, pembangunan pariwisata yang partipasif ataupun akomodatif belum tercapai. Artinya bahwa pariwisata belum menunjukkan usaha yang maksimal dalam melakukan perubahan sosial yang berupa perbaikan kesejahteraan masyarakat lokal (Damanik 2004; Wood 1997; Adams 1997).

Wacana bahwa pariwisata dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan sektor-sektor jasa lain adalah benar, akan tetapi bahwa pariwisata akan selalu mendatangkan hasil positif juga tidak sepenuhnya salah. Kebijakan pemerintah melalui serangkaian penelitian justru menunjukkan semakin termarjinalisasinya masyarakat lokal, dengan kata lain di balik gemerlap pariwisata muncul proses pemiskinan dan juga munculnya perbaikan kesejahteraan penduduk lokal. Namun pertanyaannya masyarakat lokal yang mana?

Kemiskinan di Tengah Gemerlap Pariwisata, Wajarkah?

Menelaah kembali kebijakan pariwisata di Indonesia selama ini yang lebih berorientasi pada penjaringan potensi wisatawan asing (mancanegara) dan melupakan potensi sektor domestik, memberikan sebuah pandangan bahwa kebijakan tersebut tidak realistis dan tidak populis. Kebijakan yang tidak realistis ini sayang sekali diikuti pula oleh pemerintah daerah, dengan dalih otonomi daerah, untuk menentukan target di daerah mereka masing-masing tanpa melakukan kerjasama dengan daerah lainnya.[6] Kebijakan pariwisata tersebut telah berakibat terpinggirkannya sektor domestik dari pariwisata nasional.

Meethan (2001) mengingatkan bahwa model pengembangan pariwisata yang tidak menangkap potensi wisatawan domestik secara tidak langsusng akan menyebabkan terjebaknya masyarakat pada ketergantungan terhadap wisatawan dari mancanegara dan hal tersebut pada dasarnya akan memicu pembangunan infrastruktur yang potensial memarjinalkan masyarakat lokal. Sehingga hal ini menyebabkan model pembangunan pariwisata ini justru menyebabkan ketidakseimbangan bagi terciptanya perluasan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat, khususnya antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang.

Pemerintah pada dasarnya telah memiliki komitmen untuk mengembangkan potensi pariwisata dan budaya nasional dengan menanamkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan penghargaan masyarakat khususnya stakeholders pariwisata pada pengembangan budaya leluhur, keagamaan dan tradisi, meningkatkan kualitas berbudaya dalam masyarakat, dan menumbuhkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya, dan memperkukuh ketahanan budaya sebagai modal bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan.

Berbagai studi yang dilakukan di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara seperti yang dilakukan oleh Deuster (tanpa tahun), Wood (1997) dan Picard (1990; 1997) menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata telah menyebabkan ketimpangan ideologis, struktural, ekonomis, geografi dan organisasional. Mulai dari perkembangan kapitalisme global dalam eksploitasi sumber daya lokal, komoditisasi kebudayaan lokal untuk kepentingan pariwisata termasuk juga upaya perubahan ideologis yang dilakukan oleh kalangan misionaris agama-agama besar di dunia, yang kenyataannya telah mendesak masyarakat lokal untuk menjadi penonton di negerinya sendiri. Lebih lanjut pengembangan pariwisata telah menyebabkan masyarakat dan kebudayaannya harus beradaptasi dengan kepentingan pariwisata, bukan pariwisata yang seharusnya beradaptasi dengan kepentingan budaya masyarakat lokal, sehingga terkesan kemudian justru pariwisata dengan globalisasi dan nodernisasi yang dibawanya telah memberikan handil dalam perubahan budaya masyarakat.

Basis pengembangan pariwisata adalah potensi sumber daya keragaman budaya, seni, dan alam (pesona alam). Pengembangan sumber daya ini dikelola melalui peningkatan nilai tambah sumber daya secara terpadu antara pengembangan produk pariwisata dan pengembangan pemasaran pariwisata melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal dalam rangka pengembangan pariwisata atau pengembangan pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism development). Tujuan pengembangan pariwisata berbasis komunitas ini adalah memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional dengan mengembangkan potensi masyarakat lokal berupa kesenian, budaya, dan sumber daya alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup setempat (Nasikun 2000).

Namun demikian, berbagai kendala dihadapi dalam rangka merumuskan sebuah strategi pembangunan pariwisata di daerah. Terkait dengan diberlakukannya UU No. 22 1999 tentang OTODA dan 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang tujuan utamanya memaksimalkan peran dan fungsi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan (kesejahteraan rakyat) yang menekankan atas prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, dan memperhatikan potensi serta keragaman daerah, justru dinilai memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan pariwisata nasional (Fandeli, 2004). Pertanyaan yang muncul dalam era otonomi daerah akan berputar oada skala daerah yaitu menyangkut alokasi dan sumbangan sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Timbulnya juga kaum kapitalis lokal akan semakin memacu perkembangan pariwisata yang jauh dari semangat mempertahankan kelestarian lingkungan dan budaya lokal untuk menjamin keberlanjutan pola pembangunan (sustainable development) atau pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism).

Kemiskinan yang terjadi di daerah pariwisata adalah sebagai akibat kegagalan kebijakan (policy) yang mengatur tata hubungan antar komponen penyokong pariwisata sendiri. Pembangunan pariwisata selama ini seringkali dianggap sebagai pembangunan separatis dan tanpa kontrol. Umumnya pembangunan pariwisata bias partisipasi masyarakat lokal, mengesampingkan aturan-aturan lokal (bahkan beberapa kasus menunjukkan bahwa pembangunan cenderung lebih bersikap mencari celah-celah aturan lokal dalam mengembangkan ODTW).

Diskusi & Kesimpulan: Kemiskinan sebagai sesuatu yang oposisional?

Dalam diskusi saya ingin melanjutkan menjawab pertanyaan kunci, apakah dalam gemerlap pariwisata kemiskinan muncul sebagai hal yang wajar? Saya dapat menjelaskan bahwa kemiskinann muncul sebagai hal yang wajar dan secara konseptual pengentasan kemiskinan adalah suatu kehendak yang sangat idealis. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah suatu yang sederhana, ada factor multidimensi yang sangat terkait di dalamnya. Secara historis, bangsa kita telah menghadapi perjalanan panjang dan dapat dikatakan perjalanan berdarah untuk mengantarkan bangsa ini keluar dari pintu kemiskinan , sejak dari invansi negara-negara Eropa utamanya Belanda dan negara Asia – Jepang. System penjajajan yang berlangsung lama dan sistematik tersebut telah mebentuk karakter yang memiskikan mental masyarakat Indonesia sehingga sangat rentan terjebak dalam kemiskinan.

Pariwisata, memang selama ini dihadapkan pada beban yang sangat berat yaitu sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional (khususnya daerah seperti Bali, yang mengandalkan kegiatan ekonominya dari sektor pariwisata). Sebagai motor penggerak pembangunan, pariwisata dituntut untuk menciptakan lapangan pekerjaaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat Indonesia (dan di samping itu, menciptakan juga lapangan kerja bagi kelompok lokal). Disamping penciptaan lapangan kerja, pariwisata juga dituntut untuk menyumbangkan devisa bagi negara. Untuk menyumbangkan devisa bagi negara, maka dituntut kompetensi dan kreativitas pada pelaku usaha jasa pariwisata tersebut. Ada satu momen ketika kemudian ketika pariwisata dinilai dan ditandai dengan perbedaan kurs nilai mata uang rupih, selisih inilah yang dianggap memberikan nilai kesejahteraan dan memberikan rasa kebebasan bagi orang miskin. Dalam pembangunan (baca: pariwisata) tujuan utamanya adalah untuk mensejahterakan kehidupan umat manusia, akan tetapi persoalannya, ketika importansi modal dikuasai oleh jaringan kapitalisme global maka tujuan dasar ini pun akan berubah menjadi semata-mata menjadi eksploitasi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Ketika ideologi kapitalisme menjadi sipirt dalam pembangunan, muncullah kepentingan-kepentingan kelompok pemilik modal untuk menyerap keuntungan sebesar-besarnya yang berimbas pada penekanan tenaga kerja.

Pemiskinan yang terjadi di Bali, bukanlah efek langsung dari pariwisata akan tetapi sebagai efek domino dari kurang siapnya tenaga kerja lokal yang mampu bersaing dan sekaligus kurangnya jaminan kebijakan yang melindungi masyarakat lokal itu sendiri. Saya akan mengambil salah satu contoh yaitu pada implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah seharusnya menjadi sumber kreativitas baru bagi kelompok masyarakat lokal untuk bisa mendapatkan akses luas terhadap usaha pariwisata. Namun apa yang terjadi, kelompok generasi muda di Bali cenderung menganggap tanpa keterampilan pun mereka akan mendapatkan tempat untuk bekerja di tempat usaha jasa pariwisata khususnya perhotelan karena lahan atau tanah yang dipakai untuk lokasi pendirian hotel adalah tanah orang tua. Perilaku ini menunjukkan sumberdaya manusia belum cukup bersaing. Maka untuk menghindari posisi dan konflik dengan masyarakat sekitar maka pihak hotel pun mempekerjakan generasi muda ini pada sub-sub pekerjaan yang tidak mampu untuk menghasilkan kebijakan. Kondisi ini kurang sekali disadari oleh generasi muda Bali.

Berdasarkan atas analisis yang coba saya bangun, ada beberapa hal yang sepertinya menjadi kendala utama bagaimana pemiskinan di Bali, atau kantong pariwisata terjadi. Secara mendasar, pertama, sistem perpolitikan di Bali memang sangat unik, dapat dikatakan dia bebas tapi senantiasa tidak bebas jika dihadapkan pada kekuatan adat. Apalagi jika adat telah melakukan kontroling yang terlalu jauh mendalam pada hak-hak sipil masyarakat. Sebagai contoh, dalam upaya pembangunan ODTW, maka kreativitas individu menjadi mati tatkala institusi sosial adat telah mengambil hak-hak kreativitas ini, akibatnya masyarakat melaksanakan segala keputusan adat dengan mengorbankan kemerdekaan sipilnya (hak-hak mereka tidak diakui oleh adat). Kedua, pembangunan pariwisata memiliki prinsip untuk meningkatkan pendapatan dan kekayaan negara (penyumbang devisa), untuk melakukan hal ini maka pemerintah wajib terlebih dahulu untuk melakukan pemenuhan hak-hak ekonomi perseorangan (warga) negara dengan selalu berasumsi pada prinsip pemerataan. Sehingga dibutuhkan akses dan ketersediaan kepada lembaga-lembaga keuangan. Akses inilah yang sangat menentukan bagaimana pemenuhan ekonomi masyarakat tercipta. Selama ini sistem kapitalisme telah mendorong, bagaimana usaha-usaha besar yang ada dalam jaringan pariwisata nasional/internasional selalu berusaha untuk mengamankan kepentingan modal sendiri daripada memperhatikan usaha-usaha kecil di sekelilingnya.[7] Ketiga, akses pendidikan selama ini selalu menjadi urusan pemerintah, dengan jumlah yang relatif banyak dan beragam sangat sulit bagi pemerintah untuk memenuhi semua kegiatan tersebut berdasarkan atas prinsip keseragaman. Maka dalam hal ini dituntut ada kerjasama bimbingan bagi masyarakat lokal untuk dapat berpartisipasi dengan baik. Keempat, masalah yang mendasar sampai saat ini adalah menumbuhkan kepercayaan masyarakat lokal dan juga pihak pelaku pariwisata untuk berinvestasi pada masyarakat lokal. Terakhir, mengenai kondisi keamanan, banyaknya kasus-kasus perampokan dan kriminalisasi terhadap wisatawan menunjukkan akumulasi tidak tersentuhnya banyak pihak, sehingga cenderung muncul oposisional dan resistensi.

Saya menyadari bahwa tarikan kepentingan kapitalisme memang sangat kuat dalam pusaran pariwisata internasional. Sebagaimana yang disampaikan oleh Amin (1994), bahwa kapitalisme adalah sistem yang sangat hebat dan disandarkan pada kontradiksi-kontradiksi yang mampu ia atasi. Kemampuan untuk masuk dalam system kelembagaan masyarakat (terutama adat) memungkinkan kapitalisme tumbuh subur dan senantiasa mengatur diri untuk lebih menyatu dengan sistem yang ada dalam masyarakat. Hal inilah yang memberikan sebuah subtansi bagaimana pemiskinan itu dapat terjadi.

Saya ingin menyumbangkan ide, bahwa fokus untuk menurunkan kemiskinan itu tetap harus mengacu pada kebijakan-kebijakan secara umum dan khusus disamping menumbuhkan budaya-budaya kreatif. Kebijakan saya nilai adalah suatu hal yang menjadi pintu utama untuk mengatur regulasi tarikan kepentingan internasional dan kepentingan lokal. Regulasi kebijakan tersebut bisa dipenuhi jika dalam pelaksanaannya ada beberapa instrumen sebagai prasyarat harus diterima oleh masyarakat lokal, yaitu: political freedoms, kemudahan akses ekonomi bagi masyarakat lokal, peluang-peluang sosial, jaminan keterbukaan dan akses keikutsertaan dalam pembangunan dan yang paling penting adalah perlindungan keamanan oleh pengatur kebijakan. Kelima hal ini jika dibantu atas sinergi pariwisata (stakeholders), saya yakin akan mampu untuk menurunkan kemiskinan. Selama ini penempatan atau pandangan kita telah terjebak bahwa kemiskinan adalah suatu bentuk oposisional dari pariwisata, sehingga beban pariwisata itu menjadi sangatlah besar. Harapan yang hendak dibangun bahwa instrumen-instrumen tersebut akan mampu bekerja untuk menopang kehidupan masyarakat lokal, sehingga angka kemiskinan dapat diturunkan.

Daftar Pustaka

Adams, Kathleen M

1997      Touting Touristic “Primadonas”: Tourism, Ethnicity, and National Integration in Sulewesi, Indonesia. In: Michel Picard and Robert E. Wood (Eds), Tourism, Ethnicity, and the State in Asian and Pacific Societies. Honolulu: University of Hawai’i press.

Atmaja, IBK Yoga

2002      Menggugat Pariwisata di Nusa Ceningan. Dalam: Mansour Fakih (ed), Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan: Kisah-kisah Advokasi di Indonesia. Yogyakarta: Insist.

Burns, Peter M and Andrew Holden

1995      Tourism: A New Perspective. New York: Prentince Hall.

Damanik, Janianton

2004      “Mencermati Arah Perjalanan Pariwisata Indonesia”, makalah disampaikan pada seminar “Refleksi Puspas terhadap PAriwisata Indonesia” yang diselanggarakan oleh Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tanggal 28 Agustus 2004. Paper tidak dipublikasikan.

Deuster, Paul R.

—-            “Imbalance in Development: Indonesian Experiences”, working paper in Bisnis and Economic College, Ohio University. Unpublished.

Fandel, Chafid

2004      “Kajian Kritis terhadap Pariwisata sebagai Industri Hijau”, makalah disampaikan pada seminar “Refleksi Puspas terhadap PAriwisata Indonesia” yang diselanggarakan oleh Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tanggal 28 Agustus 2004. Paper tidak dipublikasikan.

Koesworo, Hendrie Adji

2004      “Menuju Paradigma Baru Pembangunan Pariwisata Indonesia”, makalah disampaikan pada seminar “Refleksi Puspas terhadap PAriwisata Indonesia” yang diselanggarakan oleh Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tanggal 28 Agustus 2004. Paper tidak dipublikasikan.

Meethan, K.

2001      Tourism in Global Society: Place. Culture and Consumption. New York.

Picard, Michel

1990    “Cultural Tourism in Bali: Cultural Performances as Tourist Attractions”. Indonesia 49: 37-74.

1996      Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago Press.

Suharto, Edi

2005      Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama.

[2] Kemiskinan sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar atau pokok (sandang, pangan dan papan); ketidakmampuan untuk memperoleh akses kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, air bersih dan transportasi); ketidakmampuan untuk memberikan jaminan akan masa depan pribadi dan keluarga (umumnya hal ini disebabkan karena kurangnya investasi pendidikan dan keluarga); ketidaktahanan akan goncangan yang bersifat individual maupun massal; rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam; ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial; tidak terpenuhi haknya dalam akses lapangan kerja dan mata pencaharian yang tetap atau berkesinambungan; ketidak beruntungan yang diakibatkan keadaan fisik maupun mental; dan ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan dalam rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

[3] Salah satu alat ukur yang digunakan adalah pemikiran dari sosiolog Institut Pertanian Bogor Profesor Sayogjo. Profesor Sayogjo memberikan sumbangan pemikiran untuk menghitung tingkat kemiskinan seseorang dengan jumlah kalori yang dikonsumsinya perhari. Dengan membedakan antara konsumsi beras di pedesaan (320 kg per tahun) dan di perkotaan (480 kg per tahun). Berdasarkan kebutuhan kalori hidup sehat apabila seseorang mengkonsumsi kalori 1.821 perhari yang setara dengan konsumsi 0,88 kg beras (saat ini menjadi 2100 kalori perhari). Namun demikian, kategori tentang makanan tidak juga cukup untuk mendepinisikan tentang kemiskinan ini. Saat ini untuk menghitung garis kemiskinan yang dipakai adalah dengan menhitung Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) tiap rumah tangga. Kebutuhan hidup ini adalah kebutuhan dasar (basic needs) yang meilputi makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi dan partisipasi masyarakat. Sehingga ukuran ini akan berbeda dari satu tempat/wilayah dengan tempat atau wilayah lainnya.

[4] Kabinet Indonesia bersatu dibawah Presiden Yudoyono telah mengklaim bahwa kemiskinan di Indonesia selama kurun pemerintahannya telah berkurang secara signifikan. Data yang digunakan adalah data resmi dari pemerintah yaitu Badan Pusat Statistik. Akan tetapi secara kualitas, kemiskinan di Indonesia masih secara relatif bisa dikatakan berhasil.

[5] Sistem pariwisata yang bersifat mass tourism atau metatourism memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) pengemasan yang distandarisasi dan tidak fleksibel; (2) replikasi atau produksi yang bersifat massif; (3) pemasaran massif bagi konsumen yang tidak memiliki diferiensiasi; (4) liburan atau rekreasi dikonsumsi en mase dan (5) memiliki perhatian yang minimail terhadap daerah dan kebudayaan tujuan wisata (Burns and Holden 1995).

[6] Kejadian yang mencolok masih dapat kita amati kejadian tahun 2005, dimana pemerintah waktu itu menerapkan angka jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia mencapai 11 juta orang., yang merupakan target tidak realistis. Akibatnya kemudian pemerintah daerah juga ikut berlomba-lomba menerapkan target yang tidak realistis ini. Upaya yang dilakukan pemerintah daerah saat itu adalah dengan berlomba-lomba menggali potensi daerahnya baik baik dengan memoles budaya dan kesenian daerah menjadi sesuatu yang memenuhi kriteria konsumsi wisatawan.

[7] Saat ini ada program Corporate Social Responsibility yang diwajibkan kepada pihak pelaku usaha sebagai wujud kemitraan. Akan tetapi, banyak kasus bahwa program ini seringkali hanya berprinsip untuk melaksakan kewajiban dan bukan bimbingan usaha.

* Artikel ini disampaikan dalam Seminar “Pariwisata dan Pengentasan Kemiskinan” diselenggararkan dalam rangka Dies Natalis Universitas Udayana ke-48, Kerjasama Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Denpasar-Bali dan Kementerian Pariwisata dan Budaya Republik Indonesia, Hari Sabtu Tanggal 28 Agustus 2010