Oleh  FX DOMINI B. B. HERA –

[CCFS] – Kota Batu yang sehari-hari dingin cukup hangat secara pemikiran pada tanggal 16-20 Desember silam. Fotografer kondang pemenang World Photo Press, Francoise Huguier memamerkan 50 potret kehidupan kelas menengah di Asia Tenggara. Obyek kelas menengah Huguier itu berada di Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok. Sebelum membidik setiap targetnya, sang fotografer asal Perancis itu telah melakukan penelitian sejak tahun 2010. Tampil tersaji secara harafiah bagaimana realita kelas menengah tiga kota di Asia Tenggara tersebut.

Huguier menyajikan beberapa fakta bahwa kelas menengah muda di Kuala Lumpur mulai melupakan sejarah dan akar budaya negeri-bangsanya (nation-state) di tengah hiruk pikuk kemajuan ekonomi Malaysia. Kelas menengah Bangkok menghadapi pemutar-balikkan sejarah dan peredaman nilai-nilai pendidikan kritis yang dibuat oleh kaum penguasa Thailand. Sepintas pengalaman kelas menengah kedua kota di atas pernah terjadi dan masih berlangsung di Indonesia. Ternyata negeri ini tidak sendirian dalam fenomena demikian. Singapura mengidap persoalan serius bernama stres yang menjangkiti kelas menengah mereka.

Salah satu alasan kuat mengapa sang juru potret yang sempat menjadi pemotret fashion ternama ini memilih kelas menengah di Asia Tenggara ialah karena kelas menengah di Asia Tenggara masih jarang disorot. Berbeda dengan kelas menengah di Eropa yang sejak lama telah menjadi fokus perhatian sebagai agen perubahan. Kelas menengah di Asia menjadi penting dikaji saat pusat kegiatan ekonomi, politik dan budaya dunia mulai bergeser dari benua Amerika dan Eropa menuju Asia. Kishore Mahbubani, dosen dan Profesor Praktik Kebijakan Publik pada Kebijakan Publik Lee Kuan Yew School, Universitas Nasional Singapura, sempat menjelaskan fenomena kontemporer itu dalam bukunya The New Asian Hemisphere (2008). Pengalaman krisis Amerika Serikat dan Eropa kini menjadi bukti, di mana negara sebesar Amerika Serikat mendapat pinjaman dari Cina, India dan Brasil. Ketiga negara yang sebelumnya disebut sebagai dunia ketiga. Lebih spesifik Cina dan India berada di Asia. Tentu pengaruh kedua negara tersebut terasa di Asia. Macan ketiga Asia diprediksi adalah Indonesia.

Publikasi Anthony Reid, Profesor Emeritus Asia Tenggara dari Australian National University, Indonesia Rising: The Repositioning of Asia’s Third Giant (2012) membawa angin segar. Tesis Reid mengungkapkan bahwa kelas menengah yang semakin bertambah di negeri berlambang Garuda turut menentukan posisi strategis di kancah regional dan internasional. Kelas menengah di Indonesia tentu saja berbeda dengan rekannya di India meski keduanya sama sebagai kelas menengah pasca kolonial. Kelas menengah di India dirancang oleh kolonial Inggris agar mampu membeli barang hasil buatan industri Inggris. Berbeda dengan kelas menengah Indonesia yang terbentuk karena latar pendidikan terbatas yang diberikan oleh kolonial Belanda menjelang akhir masa kekuasaan.

Kelas menengah baik di Indonesia maupun pengalaman sejarah banyak bangsa bersifat membebaskan. Soekarno, Hatta, Sun Yat Sen, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, dan Aung San Suu Kyi merupakan kelas menengah. Secara posisi ekonomi, politik dan budaya. Mereka mendapat tempat terhormat dalam struktur masyarakat. Bunuh diri kelas sempat dilakukan oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Seharusnya ia bisa saja duduk santai sebagai seorang pejabat pemerintah bumiputera. Pendidikan dan keturunan ningrat menjadikan dirinya sebagai orang terpandang. Namun ia tidak memilih kesempatan itu. Ia menjadi aktivis yang pada saat kolonial berarti kegiatan beresiko karena menantang status quo pemerintah Hindia Belanda.

Bunuh diri kelas Tjokroaminoto tidak membuat posisinya hancur terdegradasi. Justru ia memiliki julukan “Raja Tanpa Mahkota” dari pemerintah kolonial karena bisa memiliki nilai tawar dengan Gubernur Jenderal dalam aktivitas sebagai Ketua Sarekat Islam. Sebutan “Ratu Adil-Juru Selamat” didapat dari rakyat yang secara magis religius memaknai sosok berkumis tebal lentik kharismatis itu. Meskipun Tjokro aktif mengorganisir buruh, ia bukan buruh; mengorganisir majikan, ia pun bukan majikan.

Ariel Heryanto, Professor kajian Asia Tenggara Australian National University-Canberra dalam kata pengantar buku Politik Kelas Menengah Indonesia (1996) berpendapat bahwa kelas menengah Indonesia berdiri di atas pengalaman kelas menengah masa kolonial. Arus kapitalisme dan globalisasi yang deras akan terus membentuk, menambah dan tidak akan mengurangi jumlah kelas menengah. Ekonomi yang maju dengan pendidikan yang merata akan meningkatkan jumlah kelas menengah yang berkualitas. Namun selama keran demokrasi tidak berjalan normal maka kelas menengah akan menampilkan peranan kritisnya.

Mahasiswa sebagai kelas menengah adalah contoh di banyak negara menjadi kekuatan kritis dengan daya intelektual sebagai kekuatan penyeimbang keberlangsungan pemerintahan. Seringkali mereka mengidentifikasi sebagai agen perubahan (agent of change), di sisi yang lain peran dan tanggung jawab sosial mereka sebagai kelas menengah begitu gamang dirasa. Terminologi kelas menengah di Indonesia masih samar, selain perbendaharaan kajian kelas ini yang masih minim. Borjuis dan kelas menengah sering tercampur aduk; kelas atas, menengah, bawah dalam klasifikasi sosial; kelas menengah dalam kacamata kapitalisme ataupun marxisme, merupakan kebingungan massal akan istilah ini.

Saat membahas gaya hidup kelas menengah, sekian fenomena dan ciri-ciri dapat dikenali. Namun identitas sebagai kelas menengah masih belum begitu terasa di Indonesia. Kelas menengah tidak hanya identik dengan modal uang. Modal sosial, budaya dan intelektual menjadi kekuatan kelas ini untuk beraksi. Merenungi dua kata: “kelas menengah” akan membawa pada perenungan apakah identitas tersebut telah melekat bagi kaum intelektual bernama mahasiswa/i khususnya di tengah dunia yang berubah dan terus berdinamika? Mengutip cuplikan syair Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar dapat menjadi jawabnya, semoga: “Kaulah lagi yang tentukan… Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian.