[CCFS] – Beberapa waktu terakhir, Kota Malang mulai bergeliat dengan persiapan menuju Pemilu 2018. Para pasangan calon yang ingin menduduki kursi Malang 1 mulai berbondong bondong mengaktifkan massa dan mendaftarkan diri ke panitia pemilihan umum. Segala persyaratan dan kelengkapan pun mulai dipenuhi. Ada yang maju lewat jalur partai, tapi juga ada pula yang berani maju secara independen. Semua itu pilihan yang sudah disusun baik-baik dan direncanakan sematang mungkin di balik layar. Tujuannya tentu untuk memenangkan pilkada dan mengusung ide serta gagasan demi membawa Malang menjadi kota yang lebih berkualitas.
Setelah massa pendaftaran usai, para calon ini mempersiapkan diri untuk menghadapi massa kampanye. Dalam hal ini, faktor bahasa sungguh tak dapat diremehkan. Menurut teori pakar Sosiolonguistik, Linda Thomas, bahasa merupakan cerminan diri manusia. Bahasa menjadi representasi kualitas seseorang. Orang lain dapat memberi penilaian terhadap seseorang dengan cara mengamati cara orang tersebut berbahasa. Baik buruknya bahasa bergantung pada penerimaannya di masyarakat. Baik menurut masyarakat di wilayah A, belum tentu di wilayah B juga mampu diterima. Subjektifitas ini tetap ada, tapi ada hal yang menarik. Berdasarkan temuan yang pernah dilakukan oleh Dr. Christina Siwi Handayani, ternyata bahasa yang berterima di kalangan masyarakat Jawa adalah bahasa yang penuh kerahiman, bahasa ibu.
Temuan yang pernah diungkapkan oleh Christina diperkuat dengan pendapat sejarahwan Peter Carey dalam bukunya bertajuk Perempuan Perempuan Perkasa di Jawa (2016). Dalam buku tersebut, Peter menegaskan bahwa pada dasarnya wanita Jawa punya peran penting dalam kekuasaan. Ken Dedes, Gayatri, hingga mitos Nyi Roro Kidul menunjukkan bahwa perempuan sungguh memiliki posisi penting di hati masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, pemimpin di tanah Jawa harus mampu memiliki keterampilan berbahasa ibu yang fasih.
Bahasa ibu bukan berarti bahwa peluang besar pasangan calon wanita untuk menang lebih tinggi daripada peluang pasangan calon pria. Sungguh salah besar! Bahasa ibu adalah bahasa yang mampu mengayomi, membimbing, dan melindungi anak-anaknya. Seorang anak akan bergerak protes ketika dirinya tidak nyaman. Kenyamanan tersebut dapat dilihat dari kedekatan dengan ibu. Menurut pemerhati feminis Jullia Kristeva, anak mengalami massa bawah sadar mulai dari usia 0-6 bulan. Pada saat seperti itu cinta kasih ibu merupakan faktor utama pembentukan kepribadian anak. Bahasa ibu dengan gerak, naluri, dan asi yang diberikan sesungguhnya merupakan faktor yang mampu menenangkan anak. Oleh sebab itu kedekatan pemimpin dan rakyat ini seharusnya seperti kedekatan ibu dengan anak.
Salah satu keberhasilan Soeharto berkuasa di Indonesia selama 32 tahun adalah karena Soeharto memiliki kerahiman untuk melindungi rakyatnya. Era kepemimpinan Soeharto juga tak lepas dari wanita di sisinya, Ibu Tien Suharto yang disegani dan sangat dihormati itu. Presiden selanjutnya, B.J Habibi pun juga demikian. Keberhasilan Habibi untuk membuat pesawat Indonesia juga tak lepas dari dukungan perempuan di sampingnya, Ibu Ainun. Bukti teoritis serta realistis yang sudah terjadi di era kepemimpinan para pemimpin bangsa menunjukkan bahwa bahasa ibu atau bahasa kasih sungguh sangat sakti sehingga dibutuhkan para pemimpin.
Itulah sebabnya, bahasa ibu yang penuh kerahiman sudah harus dipersiapkan sejak sekarang oleh para pemimpin yang hendak mencalonkan diri. Poster, spanduk, pamflet, dan terutama orasi harus bersifat represif bukan prefentif. Represif berarti mampu mengajak, membangun, dan memanusiakan rakyat. Bahasa yang seperti ini akan diterima daripada bahasa yang prefentif, menyalahkan, menyuruh, bahkan menjelek-jelekkan. Berkampanye dengan damai, dengan penuh cinta kasih, seperti ibu berbahasa pada anak dengan penuh damai dan cinta kasih, adalah kunci utama untuk sukses serta diterima masyarakat.
Menyampaikan program-program melalui kampanye dengan santun dan bijaksana jauh lebih baik daripada menghina atau menyindir program-program pasangan calon lain. Menjaga situasi tetap aman, nyaman, tentram dan damai semasa kampanye akan membuktikan bahwa pemimpin tersebut mencerminkan kerahiman untuk merangkul masyarakat.
Salah satu pakar linguistik dari Universitas Negeri Malang, Prof Dr. Syukur Ghazali mengatakan bahwa kemampuan berbahasa dibagi menjadi empat bidang yaitu membaca, menyimak, berbicara dan menulis. Kampanye melalui poster dan orasi merupakan kemampuan berbahasa dalam ranah menulis dan berbicara. Dua kemampuan berbahasa lain yang selama ini seringkali diabaikan pun seharusnya juga diperhatiakan yaitu menyimak dan membaca. Apabila dikaitkan dengan penggunaan bahasa ibu dalam strategi kampanye, maka para pasangan calon harus mampu mengakomodir dua kemampuan berbahasa ini secara lebih feminim.
Dalam kehidupan sehari-hari, ibu merupakan pendengar yang paling baik. Ibu selalu mendengarkan keluh kesah serta kegelisahan anak-anaknya. Ibu yang baik akan menjawab kegelisahan tersebut dengan bijaksana. Hal itu bukan berarti bahwa ibu harus menuruti segala kemauan si anak, melainkan ibu harus memilah mana keinginan yang dibutuhkan atau tidak dibutuhkan oleh anak. Keinginan yang dibutuhkan oleh anak akan dituruti oleh ibu, sedangkan keinginan yang tidak menunjang kebutuhan utama, akan ditunda pemenuhannya. Dalam hal menunda, seorang ibu biasanya tidak menolaknya mentah-mentah. Ibu akan memberikan alternatif solusi serta menyadarkan bahwa keinginan yang diminta anaknya bukanlah kebutuhan utama.
Seorang pemimpin harusnya juga demikian. Pemimpin tidak hanya menjadi penyampai pesan yang baik melainkan juga penerima pesan yang baik. Pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya akan mendengarkan dengan saksama keinginan rakyat. Dari situ, pemimpin akan menganalisis apakah keinginan yang disampaikan oleh rakyat tersebut memang tergolong kebutuhan utama atau bukan. Apabila yang diinginkan oleh rakyat merupakan kebutuhan utama, maka pemimpin dapat mengupayakan kebutuhan itu untuk dikabulkan. Namun, apabila keinginan yang disampaikan bukan kebutuhan utama, maka pemimpin dapat menyampaikan serta menyadarkan rakyat tentang efektifitas kebutuhan yang seharusnya diminta.
Selain medengarkan, pemimpin juga harus menjadi pembaca yang bajik. Seorang ibu sering kali membaca dongeng, buku pengetahuan, hingga resep masakan untuk keluarga. Semua yang dibaca oleh ibu pastinya akan diceritakan pada anak anaknya atau digunakan untuk keperluan keluarga. Resep masakan yang dibaca pasti akan dipraktikan saat menyajikan makan malam. Dongeng yang dibaca juga dipraktikan untuk meninabobokan anaknya. Apabila keterampilan membaca ini dikaitkan dengan seorang pemimpin, itu berarti bahwa pemimpin harus berwawasan luas. Seorang pemimpin yang berwawasan luas pastinya akan dapat menjadi solusi bagi rakyatnya. Hasil baca atau pengetahuan pemimpin dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan rakyat.
Keempat keterampilan berbahasa ini apabila dikolaborasikan dengan bahasa ibu dalam massa kampanye akan menjadi sebuah jurus ampuh yang sakti untuk menggaet hati masyarakat. Dengan demikian, semoga perayaan kampanye politik di Malang raya dapat berlangsung dengan suasana damai, dan penuh dengan cinta kasih. Kedamaian akan berterima di hati masyarakat daripada kebencian dan syak wasangka.
* Penulis adalah Ardi Wina Saputra
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang