[CCFS] – Saat ini masyarakat sedang berada dalam sebuah Global Village dunia digital yang begitu masif. Hampir satu orang memiliki setidaknya 5 media sosial. Trend ini ternyata merambah pada generasi langgas Indonesia. Generasi yang lahir di awal tahun 2000 an ini sedang diaduk aduk dalam teknologi informasi yang serba instan. Itulah sebabnya potensi terjangkit virus hoax teramat tinggi. Apabila dibiarkan maka bisa jadi saling menimbulkan syak wasangka hingga perang saudara.
Menanggapi hal itu, pusat Studi Laman Batas Universitas Brawijaya dan SMA katolik St. Alertus Malang tidak tinggal diam. Sebuah diskusi bertajuk “Menangkal Literasi Hoax” diselenggarakan pada Sabtu (14/10/2017) di perpustakaan pusat SMA Katolik St. Albertus Malang. Megasari Fatanti dan Yuventia Priska merupakan dua pembicara utama yang didaulat untuk memberikan penyadaran pada siswa siswi Dempo yang setelah ini lulus dan terjun ke dunia nyata. Menurut Mega, Hoax adalah pemberitaan palsu yang dianggap riil isi beritanya. “Parahnya lagi, penyebar hoax ini tahu jika berita yang ditulisnya itu adalah berita bohong! “ tegas Mega. Kondisi miris ini jadi bertambah miris ketika muncul Sarachen yang sengaja meraup keuntungan melalui berita hoax. Oleh sebab itu perlu dilakukan counter terhadap pemberitaan hoax ini.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membekali diri sendiri. Membekali diri dengan skemata atau wacana utuh merupakan cara terampuh agar kita tidak cepat reaktif terlebih emosi ketika melihat suatu berita. Skemata dapat dibentuk dengan cara rajin berliterasi secara utuh sehingga terhindar dari degradasi pemikiran kritis. Yuventia Prisca mengatakan bahwa sesungguhnya ada kepentingan yang melatarbelakangi dibuatnya suatu hoax. Sayangnya kepentingan ini cenderung ada kaitanya dengan pembentukan opini publik dalam bidang politik. Itulah sebabnya kesadaran untuk berpikir kritis adalah kunci utamanya.
Selain pembentukan nalar kritis, sousi berikutnya adalah dengan membiasakan diri bersosialisasi. Proses sosialisasi akan membuat seseorang untuk mau berempati satu sama lain. Proses sosialisasi juga membuat manusia menjadi paham cara untuk memanusiakan manusia. Sosialisasi juga membuat kita mampu untuk memaklumi keberagaman. Pemahaman terhadap yang berbeda ini sangat penting agar tidak timbul kecurigaan dan tuduhan satu dengan yang lain. Perbedaan akan membuat kita sadar bahwa ada orang lain selain kita yang berbeda dan perlu diakui hak dan kewajibanya. Tidak perlu menjadi sama atau seragam agar dianggap baik. Berbeda asalkan bisa saling menghargai pum sesungguhnya adalah suatu anugerah yang luar biasa. Ketika seseorang mampu memahami perbedaan maka orang tersebut tidak mudah percaya dengan hasutan hasutan yang bersifat memecah belah persatuan. Semoga penyadaran dan pencerahan ini dapat diaplilasikan dalam kehidupan sehari hari agar terhindarlah generasi “zaman now” dari “pencyduckan” berita hoax.(Ardi Wina Saputra)