Oleh  F. X. DOMINI B. B. HERA, HERSRI SETIAWAN & IRAWAN –

“Sedikitnya 10 bahasa daerah punah dan 32 lainnya terancam punah
akibat pemimpin yang keminggris’!”
– Kolom Mang Usil, OPINI KOMPAS, Rabu 27 Juli 2011, hlm.6.

[CCFS] – Sentilan Mang Usil di atas merupakan berita dan isyarat sekaligus: bahwa lampu-kuning rambu perjalanan Kebudayaan Nasional Indonesia telah menyala. Lampu kuning ini dalam bilangan detik tentu akan segera berubah menjadi merah. Apabila keadaan demikian terjadi, itu pertanda bahwasanya bangsa Indonesia di ambang senjakala. Bangsa Indonesia akan “hidup” tanpa jati diri, ibarat onggokan sosok tanpa ruh. Adapun yang menjadi penyebab dari pernyataan di atas, Mang Usil menunjuk pada “akibat pemimpin yang keminggris’!. Sentilan Mang Usil merupakan reaksi atas beberapa pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang seringkali menggunakan sesuatu konsep atau ‘arahan’ – ungkapan feodalistik untuk ‘instruksi’ yang militeristik — yang perlu dijabarkan dengan lebih terang, ia serta-merta menyatakannya dalam bahasa Inggris, bukan dalam bahasa rakyat (populis) yang ‘akrab’ dengan para ‘kawula negri’ yang tinggal di pelosok sana Nusantara (Setiawan, 2011 (b): 6).
Kepekaan seorang Presiden SBY dalam hal budaya memang menarik disimak, selain aspek gaya bahasa. Pernah Beliau mendapat demonstrasi dengan kerbau yang diasosiasikan sebagai Presiden, dikarenakan pada badan hewan tersebut tertulis “SBY”. Sebagai seorang Jawa, Beliau tentu berpikir kerbau tersebut merupakan simbol penghinaan akan perlambang malas dan bodoh dalam tubuh yang besar. Itulah sudut pandang Jawa. Berbeda dengan budaya Tana Toraja dan Minangkabau melihat kerbau. Hewan tersebut justru menjadi simbol kemuliaan dan tolak ukur kekayaan seseorang. Seandainya Presiden SBY mampu menangkis kritik kerbau tersebut tidak dengan mindset Jawa, tentulah elegan Presiden SBY menggunakan alibi kerbau versi Tana Toraja dan Minangkabau.

Walaupun bencana nasional ini tidak timbul tiba-tiba di dalam masa rezim SBY atau rezim-rezim pasca-reformasi sebelumnya. Bencana itu sudah ditanam sebagai bom waktu oleh rezim militer Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto, yang dengan kasar hendak, dan sudah sibuk, menumpas kebyinekaan Indonesia untuk digantikan dengan kemanunggalan Jawa Raya. Dalam hal ini, Sarjana Australia Keith Foulcher menulis bahwa Pusat Bahasa di Jakarta suka memakai “kosakata Sansekerta dari bahasa Jawa Kromo” sebagai sumber istilah baru. Demikian pula David T. Hill ( dan Sen, 2001 & 2005) dan Benedict Anderson (2000) menganalisis hal yang sama seperti yang dikemukakan oleh Keith Foulcher mengenai bahasa Indonesia. Barangkali lebih tepat dikatakan bahwa masa pemerintahan tersebut melakukan pembekuan dan pembiaran melalui anggapannya sendiri kalau persoalan Indonesia, terutama kebudayaan dianggap sudah selesai. Benarkah demikian? Kalau benar, mengapa masih muncul persoalan karakter bangsa, jati diri bangsa dan semacamnya yang saling berkait satu sama lainnya pada saat ini? Tentulah itu merupakan suatu tantangan ke depan yang masih harus diselesaikan.

Beberapa uraian di atas merupakan persoalan kebudayaan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, tidak hanya oleh seorang kepala negara melainkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Kebudayaan sebagai produk masyarakat belum mendapat tempat yang relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebudayaan masih belum diberi porsi yang optimal jika dibandingkan politik dan ekonomi. “Jalan politis terlalu pengap dan (orang-orangnya) berantem terus, sedangkan jalan ekonomi terlalu memberatkan dengan kalkulasi untung-rugi”, tutur Romo Mudji Sutrisno, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (KOMPAS, 21 April 2011, hlm. 5). Maka, kebudayaan adalah jalan utama menuju peradaban. Peradaban membuat manusia mencintai kehidupan dan menjaga perdamaian.

Mission sacree (misi suci nan mulia) kebudayaan perlu dipahami secara tepat supaya seluruh elemen masyarakat Indonesia sadar dan menyadari bahwa kebudayaan merupakan suatu kekuatan yang luar biasa, khususnya dalam pembangunan dan globalisasi kini. Negara yang maju tidak semata-mata ditunjang perekonomian dan politik yang maju. Melainkan kebudayaan dan karakter yang melekat kuat menjadi pondasi perekonomian dan politik banyak negara maju. Jepang merupakan bukti betapa kebudayaan menjadi adalah alas dasar pembangunan negeri matahari terbit tersebut. Wajar dan dapat dipahami mengapa kebudayaan nasional di Indonesia belum mendapat porsi yang maksimal dikarenakan masyarakat belum mengetahui secara benar sejarah dan bagaimana kebudayaan nasional. Hal itu merupakan salah satu faktor dominan dalam tantangan kebudayaan nasional Indonesia. Mengetahui diagnosa problematika kebudayaan nasional menjadi penting untuk mencegah manusia Indonesia mengidap penyakit krisis identitas (Erikson, 1989).

Uraian ini berusaha menyoroti empat hal, antara lain asal muasal kebudayaan nasional yang meliputi tonggak-tonggak polemik kebudayaan nasional; pergumulan dua unsur pembentuk kebudayaan nasional yang menonjol yakni studi kasus Jawa dan Minang; kebudayaan nasional sebagai cerminan mentalitas bangsa Indonesia; tantangan kebudayaan nasional dalam era globalisasi, yang terancam dari kebudayaan komunal menjadi kebudayaan komersil. Setidaknya dengan empat hal di atas, gelap-samarnya kebudayaan nasional Indonesia dapat menjadi lebih terang dan berguna bagi pembangunan manusia dan negara Indonesia. Sebab, pepatah mengingatkan bahwa, ‘intan tetap walau keluar dari mulut anjing sekalipun’. Demikian pula kebudayaan nasional, meski masih carut marut, ia tetaplah intan.

Kebudayaan sebagai Terang dan Nyala Api Berkelanjutan

Sejarah dan kebudayaan bukan sekedar terang dan panas sebagai hasil kobaran nyala dari api unggun sejarah masa lalu saja. Tapi sejarah dan kebudayaan juga memberi terang dan panas pada kobaran nyala selanjutnya.

Berdasarkan pengalaman empirik, Kebudayaan ialah warisan sejarah (historisch bestimmt), kata pakar sosiologi Ferdinand Julius Tönnies (dalam Setiawan, 2011 (b): 1). Tapi di samping merupakan warisan kebudayaan, sejarah sekaligus juga merupakan reservoar kebudayaan. Sehubungan ini Mangkunegara IV (masa pemerintahan 1853-1881) memberi sebuah adagium yang mengatakan: ‘apèk geni adedamar, ngangsu apikulan warih’. Artinya, mengambil api dengan membawa nyala api, mengambil air dengan berpikulan air. Hal ini bermaksud agar dalam mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah dan kebudayaan, atau menoleh pada pengalaman-pengalaman sejarah dan kebudayaan masa lalu, jangan sampai melupakan pada apa yang hendak dicari. Lebih buruk lagi, jangan dibuat padam api itu, atau dibuat mati sumber air itu. Tapi sebaliknya, harus menjaga nyala api atau sumber air itu agar tetap terus menyala atau memancar, dan kalau bisa bahkan lebih memperbesar lagi kobaran nyala atau pancaran sumbernya. Dalam kearifan yang sama, karenanya, Bung Karno juga pernah menasihati, agar dalam memperingati (peristiwa sejarah) sesuatu, jangan kita ambil abunya, tapi ambillah apinya!

Sejarah dan kebudayaan bukan sekedar terang dan panas sebagai hasil kobaran nyala dari api unggun sejarah masa lalu saja. Tapi sejarah juga memberi terang dan panas pada kobaran nyala selanjutnya. Kalau tidak ada proses demikian pastilah tidak akan dikenal sepatah kata wasiat dari ahli teori dialektika Herakleitos: panta rhei – segala hal-ihwal terus mengalir. Sejarah selain warisan juga petandoan (tandhu,tandho, tandhon= wadhah air) atau reservoar. Dan dari petandoan yang satu ini diambil api atau airnya, dengan membawa nyala atau pikulan air, untuk menciptakan petandoan-petandoan baru, sementara itu petandoannya yang lama tidak menjadi kering atau padam. Dalam hal ini istilah petandoan atau reservoar lebih condong tepat digunakan untuk menyebut kebudayaan.
Di dalam kobaran api sejarah dan dinamika kebudayaan, manusia mengambil terus-menerus api (bukan abu) atau air yang terus mengalir untuk menyemai, menumbuhkan terus kebudayaan sendiri menuju suatu peradaban yang semakin tinggi dan meluas. Seiring berjalannya waktu, secara historis kebudayaan kita semakin tumbuh berkembang dan meluas serta saling merajut membentuk kebudayaan nasional, Indonesia.

Tragedi Budaya Nasional yang Berpengaruh pada Kebudayaan Nasional

Pada masa pemerintahan Republik Indonesia dibawah kekuasaan rezim militer Suharto, yang tentu militeristik dengan gaya komandonya, tidak sedikit para seniman dan sastrawan yang diasingkan ke “Gulag Indonesia”, yaitu Pulau Buru. Di antara para sastrawan itu, sebut saja misalnya, Pramudya Ananta Toer, Banda Harahap (Hr. Bandaharo), Rivai Apin, Bujung Saleh Puradisastra, S. Anantaguna, dan banyak lagi yang lain. Dari mereka semua hanya Pramudya saja yang menerima ‘privilese’ (hak istimewa) untuk meneruskan profesinya sebagai penulis. Artinya setiap hari seluruh waktunya dilewatkan untuk menulis dan hanya menulis, berbeda dengan kawan-kawan penulis lainnya yang harus mengganti pena dan kertas dengan pacul dan arit, serta alat kerja yang lain. Tentu saja mereka itu dengan sembunyi-sembunyi tetap menulis, karena menulis adalah nafas hidup dan detak jantung mereka sehari-hari (Krisnadi, 2011). Bagi mereka itu segala bentuk alat tulis merupakan ‘konsinyes’ paling berat, yang kalau sampai tertangkap basah bisa berakibat maut, sebagaimana yang dialami seorang tapol Unit XV Indrapura bernama Munajid. Ia mati disiksa karena tertangkap basah ketika sedang membaca harian “KOMPAS”.

Sebuah persoalan yang menarik untuk dikaji lebih jauh dari dimensi historis adalah apakah peristiwa “pengamanan” sebagian seniman-budayawan Indonesia tersebut secara berangsur-angsur telah menahan, menghentikan, bahkan mungkinkah juga dikatakan sebagai mematikan pertumbuhan kebudayaan nasional itu sendiri? Hal ini mengingat berbagai seni, baik film, sastra novel misalnya dikemudian hari hingga kini menjadi sepi dan “sepo” kalaupun ada. Dalam hal ini tidak ketinggalan pula berbagai sinetron di layar kaca yang mengudara di Indonesia.

Selamat Datang Kebudayaan Nasional

Pada suatu hari S. Anantaguna memberi Hersri Setiawan tiga buah buku tulis yang ketiga-tiganya sudah bertulis penuh. Pada buku tulis pertama terbaca tajuk tulisannya itu: Kebudayaan Nasional. Membaca pernyataan tajuk ini Hersri Setiawan tertegun, bertanya pada diri sendiri: mengapa “kebudayaan nasional”? Karena selama ini, sebagai “Orang LEKRA” (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Hersri Setiawan dan aktivis LEKRA hanya bersibuk dengan “Kebudayaan Rakyat”. Juga selama beberapa tahun malang-melintang di berbagai negeri Asia-Afrika, untuk urusan sastra Asia- Afrika, Hersri Setiawan tidak pernah mendengar dua patah kata yang ibarat sudah menjadi kata-majemuk itu, Kebudayaan Nasional, diikuti dengan sepatah kata sebutan yang menyatakan negeri atau bangsa tertentu (Setiawan, 2004 (a)).
Apakah itu “kebudayaan”? “Kebudayaan” ialah “hasil keseluruhan daya-upaya manusia secara sadar untuk memenuhi setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin” – begitulah kira-kira Ki Hajar Dewantara dalam prasaran yang dikemukakannya di depan Musyawarah Kebudayaan Nasional I di Magelang tahun 1948. Sedikit tentang musyawarah tersebut. Istilah Musyawarah Kebudayaan Nasional ini disebut pula dengan Kongres Kebudayaan (KK) diantaranya 1948 ini. Dalam KK tersebut pada intinya memperhatikan dua hal: 1). Bagaimanakah caranya mendorong kebudayaan kita supaya dapat maju cepat dan 2). Bagaimana caranya agar kebudayaan kita jangan sampai terus bersifat kebudayaan jajahan, akan tetapi supaya menjadi suatu kebudayaan yang menentang tiap-tiap anasir cultureel imperialisme. Gagasan untuk menyelenggarakan KK yang sangat strategis ini kemudian diambil alih oleh Kementerian Pengajaran, Perdidikan dan Kebudayaan (Supardi, 2007: 13).

Terfokus kepada persoalan kebudayaan nasional. Lalu, apakah itu “nasional”? Arti kata “nasional” tentu saja “kebangsaan”, yang kedudukannya dalam rangkaian sepatah “kata mejemuk” itu untuk memberi keterangan atau sifat pada kata “kebudayaan” tersebut. Sifat yang bagaimana? Sifat sebagaimana dinyatakan oleh kata yang menyusul, misalnya “Kebudayaan Nasional Indonesia”. Mengapa tidak “Kebudayaan Indonesia” saja, seperti juga “Kebudayaan Tiongkok” atau “Kebudayaan Aljazair” dan tidak “Kebudayaan Nasional Tiongkok”, atau “Kebudayaan Nasional Aljazair”? Mengapa Indonesia merasa perlu harus menegaskan dengan predikat ‘nasional’, barangkali mencerminkan proses panjang penjadian (menjadikan) dan pengakuan suku-suku bangsa di Indonesia dalam dan sebagai satu bangsa dan satu tanah air.

Menurut pendapat Hersri Setiawan (2011 (b): 2) ada dua alasan mengapa predikat “nasional” harus dicantumkan di sini, yaitu alasan keluar sebagai pernyataan kemandirian identitas dan alasan kedalam sebagai pernyataan tentang identitas yang beragam, atau keberagaman dalam identitas. Keluar untuk menegaskan, bahwa Indonesia bukanlah Malaysia walaupun sebagai bangsa mereka satu rumpun; dan kedalam untuk menegaskan, bahwa Indonesia ialah suatu kesatuan yang beragam. Karena itu dimengerti dan diterima, kembali pada pendapat K.H. Dewantara, bahwa kebudayaan nasional ialah “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Inti pembicaraan dalam hal ini ialah tentang hubungan antara kebudayaan nasional dan kebudayaan lokal, hubungan antara Indonesia dan daerah-daerah. Hal ini kiranya secara simbolik diungkapkan dengan BHINNEKA TUNGGAL IKA sebagaimana dalam lambang negara burung garuda.
Perihal kemunculan istilah kebudayaan nasional, gambaran yang menarik dikemukakan oleh Kleden (1987:217) menunjukkan bahwa kelahiran kebudayaan nasional tidak bisa lepas dari aspek kesadaran gerakan kebangsaan dan kesadaran akan kebudayaan baru. Keduanya lahir beriringan di kalangan terpelajar Indonesia di Eropa. Cita-cita kemerdekaan Indonesia baik secara politik maupun cita-cita pembaharuan masyarakat masyarakat dan kebudayaan yang tumbuh bersama sangat sulit dipisahkan.

Kemerdekaan secara politik sebagai pintu awal untuk lebih jauh meraih kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan perkembangan kebudayaan yang kemudian diberi istilah kebudayaan nasional. Dengan demikian jelas bahwa kebangkitan kebangsaan Indonesia atau nasionalisme Indonesia tumbuh seiring dengan, atau sekaligus tumbuh pula kebudayaan nasional, Indonesia yang akan membentuk kepribadian bangsa. Hal ini merupakan sebagian kecil insiden yang membentuk manusia Indonesia sebagai sebuah bangsa beserta kebudayaannya.

Tonggak-tonggak Polemik Kebudayaan Nasional

Sebelum membahas masalah tonggak-tonggak “polemik kebudayaan” Indonesia, barangkali perlu juga diperhatikan sejak dari masa pencarian bentuk dan identitas, masa pra-penjadian, masa penjadian (Kartodirdjo, 1999: 239-241 & Miert, 2003). Jika pembagian proses pembagian zaman penjadian Kebudayaan Nasional itu ditunjukkan dalam angka tahun, dapat dibagi sebagai berikut: (1) akhir abad ke-19 sampai tahun 1905; (2) tahun 1905 sampai tahun 1928; (3) tahun 1928 sampai tahun 1945; (4) tahun 1945 sampai tahun 1965/66; dan (5) tahun 1965/66 sampai sekarang. Hal ini merupakan sebuah pembabagan sejarah budaya yang menarik dan saling tak terlepaskan dari aspek lainnya –penjajahan-globalisasi-politik- yang mewarnai pembentukan kebudayaan nasional, Indonesia. Kongres Kebudayaan setelah Indonesia merdeka untuk pertama kali adalah tahun 1948 tersebut dan bersambung lagi pada tahun-tahun 1951, 1954, 1957, 1960, dan berlanjut 1991 dan 2003 setelah berhenti sekian lamanya (Supardi, 2007).

Sumpah Pemuda pada tahun 1928 tidak hanya sekedar peristiwa budaya. Melainkan lompatan yang melewati sekat suku, agama, dan ras. Menurut filsuf Eko Armada Riyanto (2011: 123-141), para pendiri bangsa Indonesia telah lulus dalam pergumulan politik identitas, khusunya politik primordial. Kebudayaan nasional merupakan modal sekaligus investasi yang berprospek cerah, khusunya dalam hal integrasi Indonesia (Kuntowijoyo, 2006: 153-168). Meskipun pada perkembangannya, pada masa orde lama slogan ‘jati diri bangsa’ dan di era orde baru muncul istilah ‘kepribadian nasional’ (Wardaya, 1999 (a) & 2001 (b)), tentu tidak mengurangi substansi kepribadian nasional yang secara hegemonik hendak disetir penguasa.

Tonggak-tonggak polemik kebudayaan selanjutnya, polemik tahun 1945-1950 dan 1950-1965, pada hemat saya merupakan kelanjutan belaka dari polemik masa pencarian yang berlangsung di sepanjang tahun 1930-an sampai tahun-tahun “perang kemerdekaan“. Jika dalam tahun-tahun tersebut akhir ini yang terjadi, beberapa pihak, saling adu kiblat ruh atau akar jatidiri, maka pada masa antara 1945-50 mengerucut pada perbenturan nilai antara kaum “humanis universal” vis-á-vis “humanis patriotik”, antara kaum humanis yang tak bertanah-air dan tak berkebangsaan – karena pengakuannya sebagai “anak kebudayaan dunia” – vis-á-vis kaum humanis patriotik dan nasionalis. Akhirnya perbenturan ideologi itu semakin meruncing di dalam alam Demokrasi Terpimpin, yang menggejala dalam pertentangan tajam antara kaum Manikebu (Manifest Kebudayaan) vs. kaum Nasakom (Nasionalisme, Agama, & Komunisme), khususnya para pendukung LEKRA.

Pada akhir abad ke-19 kaum borjuasi negeri-negeri Eropa Barat, dalam hubungan dengan Indonesia khususnya Belanda, telah berkembang sampai puncaknya. VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie, Serikat Dagang Belanda untuk Hindia Timur) ‘menyerahkan’ wilayah kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda. Watak kapitalisme dagang atau kapitalisme tua yang berubah menjadi kapitalisme finansial atau kapitalisme modern tentu saja memerlukan tata-kelola pemerintahan kolonial yang baru. Tenaga buruh berkemeja-putih diperlukan untuk menopang jalannya pemerintahan. Apakah dunia pendidikan kita saat ini juga masih sekedar mencetak tenaga berkemeja putih tersebut bagi kalangan pemerintah dan perusahaan semata? Semoga saja tidak. Sekolah-sekolah untuk pribumi lalu didirikan, terutama di Jawa dan Sumatra karena di kedua pulau-pulau inilah eksploitasi dan eksplorasi kolonial lebih didahulukan. Menjadi tantangan kini pendidikan membebaskan sanak bangsa sendiri lebih mandiri, atau menjadikan mereka sebagai ambtenaar (pangreh praja) semata.

Pada akhir abad ke-19 ini di Belanda tampil kaum etikus, kaum adabiyah, yang membela pendirian politik ‘ereschuld’ (utangbudi) pada rakyat jajahan. Kebijakan ini tentu saja ‘sekedar’ kritik terhadap cara penindasan dan penghisapan kolonialisme tua. Adapun tujuannya tetap, kalau tak hendak dikatakan justru, untuk lebih mengintensifkan strategi politik dan ekonomi kolonial itu. Kebijakan kolonial kaum adabiyah ini linea recta bisa disejajarkan dengan kebijakan pimpinan Inrehab (Instalasi Rehabilitasi) Pulau Buru pada tahun 1974 dalam memanfaatkan tenaga kerja tapol, antara lain misalnya, pengubahan dari sistem kerja harian menurut ‘man-day’ menjadi sistem kerja borongan harian. Sistem kerja borongan harian lebih menekan pekerja dan lebih menguntungkan pemberi pekerjaan (Krisnadi, 2001 dan Setiawan, 2004 (a)).

Jawa dan Minang di Beranda Kebudayaan Nasional

Dapat diperhatikan: pada tahun 1862 rel kereta-api pertama – demi alasan militer dan ekonomi — diletakkan untuk menghubungkan pelabuhan laut Semarang dengan lumbung hasil bumi daerah Vorstenlanden (Wilayah Kerajaan); tahun 1886 rel kereta-api pertama Aceh-Sumatra Utara dan diperpanjang lima tahun kemudian sampai ke Sumatra Barat. Pada sisi kebudayaan: VSTP (Vereniging van Spoor- en Tramweg Personeel), berdiri 1908, sebagai gerakan atau organisasi sosial modern menggantikan gerakan-gerakan sebelumnya yang berbasis tradisi. VSTP inilah yang merupakan ‘lahan’ bagi Henk Sneevliet merekrut sementara aktivis ormas ini (ia sendiri juga anggota) kedalam ISDV yang didirikannya (Indiesche Sociaal Democratische Vereeniging; Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Pada tahun 1907 terbit (sampai 1912) surat-kabar berbahasa Melayu “Medan Prijaji”, dipimpin oleh R.M. Tirto Adhisoerjo; sementara itu juga terbit “Soenda Berita” (1903-1905), dan ‘Poeteri Hindia” (1908) – kedua-duanya dipimpin oleh “Sang Pemula” itu juga. Perhatikan juga dalam nama-nama tiga surat-kabar tersebut: tertangkap kata pernyataan status sosial “Prijaji”, kemudian identitas primordial “Soenda”, dan akhirnya identitas baru “Hindia”. Dalam jaman yang sama di Padang Sumatra Barat, Siti Rohana Koedoes pada tahun 1912 tampil sebagai perempuan pertama, memimpin surat-kabar “Soenting Melajoe”; dan pada tahun 1911 mendirikan “Amai Setia” untuk menghimpun dan pemberdayaan para pengrajin perak dan sulam. Uraian sekilas di atas sekaligus sudah menunjukkan betapa “Jawa” seakan-akan berlomba dengan “Minang”: di sana ada Rohana Kudus, di sini ada Kartini; di sana ada Sutan Takdir Alisjahbana, tapi di samping itu juga ada Engku Muhammad Syafei , dan di sini ada KH Dewantara; di sana ada Moh. Hatta dan di sini ada Soekarno.

Berkaitan dengan itu, bahwasanya di tengah ranah kebudayaan bangsa dan negara baru yang bernama Indonesia, ada dua pilar kebudayaan utama Jawa dan Minang. Walaupun demikian tampilnya dua fenomena kebudayaan itu tidak perlu dipertentangkan dan memang tidak ada pertentangan antara yang dua tersebut. Jika di sepanjang tahun 1930-an terjadi polemik besar kebudayaan, khususnya dalam persona dua tokoh besar Sutan Takdir Alisjahbana (STA) vis-á-vis Ki Hajar Dewantara (KHD), namun polemik itu berlangsung tetap dengan semangat Tiga Butir Sumpah Pemuda 1928, dan tetap dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Dasar yang menimbulkan terjadinya polemik ialah pencarian kiblat identitas kebudayaan nasional sebagai bangsa baru. Menjadi permenungan, mungkinkah persoalan identitas kebudayaan nasional ini kini mencuat ke dalam isu karakter bangsa.

Sutan Takdir berkiblat ke Barat, yaitu pada kaum adabiyah, dan dalam hal sastra atau kepengarangan pada Angkatan 80-an atau “De Tachtigers”; sementara Ki Hajar pada ke-Indonesia-an yang sampai saat itu masih belum terwujud. Di antara dua “ekstremitas” STA vs KHD itu perhatikanlah tokoh-tokoh Sanusi Pane dan Mohamad Yamin, yang masing-masing menawarkan India Kuno dan Jawa Kuno sebagai kiblat kebudayaan Indonesia Baru. Tapi ada juga seorang tokoh Sumatra Barat berasal Kalimantan Barat, Engku Muhamad Syafei, pendiri INS (Institut Nasional) Kayutanam (1926). Mirip dengan Ki Hajar Dewantara, Engku Muhamad Syafei tidak bicara tentang Barat atau Timur, tetapi tanpa diucapkan ia menekankan visinya pada Kemanusiaan dan dalam kaitannya dengan misi pendidikan ia bertolak dari “Bakat” seseorang – sebagaimana halnya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara (1922) pada “Kodrat Alam”.

Kekayaan Multikulturalisme dalam Kebudayaan Nasional

Ketika membaca rumusan KH Dewantara tentang Kebudayaan Nasional sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah”, sejurus terpana dan bertanya-tanya. Apakah Kebudayaan Nasional ialah berupa motif warna-warni yang terdapat di seluruh nusantara, dan kemudian dirajut menjadi semacam sehelai “kain nasional”? Sehelai kain bertambal-tambal indah seperti Antakusuma, kutang sakti Gatotkaca: ada yang berupa tambalan berwarna Seudati, Lenong, Serimpi, Janger, Cakalele … dan lebih dari duaratus “helai kain tambalan” lainnya? Tidak! Dengan kata rumusannya itu K. H. Dewantara hendak mengatakan sama seperti yang diucapkan oleh Bung Karno. Indonesia ibarat sebuah Taman. Taman Nasional. Di dalam Taman itu tumbuh aneka warna bunga-bunga. Aneka tumbuhan bunga-bunga inilah warna-warni lokalitas sukubangsa-sukubangsa itu. Karena itu, kata Bung Karno lebih lanjut: Taman Nasional akan subur indah apabila aneka warna bunga-bunga sukubangsa itu terus-menerus dipupuk agar terus selalu bertumbuh dan berkembag.
Semua unsur sukubangsa, semua ragam daerah, corak budaya local mendapat tempat dan rawatan yang sama sebagai tiang-tiang penyangga sebuah bangunan yang satu dan sama: Indonesia. Ada sebuah lagu populer, yang sangat populer di kalangan masyarakat pada tahun-tahun awal kemerdekaan. Lagu itu berjudul “O”, tidak diketahui siapa penggubahnya, tapi beginilah lirik lagu itu:

O, amat banyak
amat banyaklah warganya
satu hanya satulah jumlahnya
satu bangsa satu bahasa
satulah tanahair: Indonesia!

Itulah Indonesia. Amat banyak warganya, tapi hanya satu jumlahnya! Maka camkanlah kata-kata Bung Karno di atas. Tamansari Indonesia hanya akan indah, bila di dalamnya bunga-bunga sukubangsa tumbuh subur; sebaliknya bunga-bunga sukubangsa akan indah subur, apabila tumbuh di dalam tamansarinya Indonesia. Analogi dengan ‘adagium’ itu kiranya saya bisa mengatakan, bahwa Bahasa Nasional – Bahasa Indonesia – akan menjadi bahasa yang tumbuh sehat, di atas bahasa-bahasa daerah yang tumbuh dengan sehat pula.

Kekuatan dalam Tantangan Kebudayaan Nasional

Ke depannya, kebudayaan nasional masih menghadapi banyak PR (pekerjaan rumah). Pada era globalisasi ini, tantangan aroma kebudayaan nasional yang komunal dihadapkan pada kebudayaan komersil. Bahkan, konsep miskin itu menjual telah dipraktekkan dalam tayangan-tayangan televisi dewasa ini. Seperti program KETIKA AKU MENJADI di Trans TV; BEDAH RUMAH di RCTI; UANG KAGET di RCTI; RUNAWAY ETHNIC di Trans TV; TOLONG di SCTV. Sebagai cerminan budaya, sudahkah pola tersebut membebaskan masyarakat Indonesia untuk lebih maju dalam melangkah. Ataukah semakin terjebak dalam pola berpikir instant. Belum lagi, dominasi konvensional politik dan ekonomi masih menjadi indikator menilai suatu tingkat kesejahteraan hidup rakyat. Padahal, kekayaan budaya Indonesia begitu beragam dan dapat menjadi modal sosial bagi segenap tumpah darah bangsa.

Tak heran muncul ketimpangan perspektif berpikir, seperti pada era Orde Baru masyarakat Papua pedalaman yang memakai koteka (lelaki) dan bertelanjang dada (wanita) dipandang sebagai pihak yang perlu diberi sentuhan “peradaban”. Caranya, dengan diberi baju dan celana agar tidak telanjang (primitif) meskipun mereka tidak mengenal sabun. Alhasil, proyek “sentuhan peradaban” ini gagal. Bagaimana tidak, mereka tidak tahu cara mencuci dan mengurus pakaian tersebut. Dari studi kasus di atas, dapat dilihat bahwa kebudayaan, baik secara maupun secara fisik maupun non fisik, tidak merubah apapun. Hal tersebut juga merupakan kegagalan indikator ekonomi. Tidak dapat serta merta masyarakat yang berbudaya sederhana dikategorikan misikin. Perlu ditinjau ulang apakah indikator ekonomi itu satu-satunya ukuran penananda level kehidupan sejahtera yang lebih baik.

Terlepas dari kesemuanya, kebudayaan nasional tetaplah intan. Sebuah intan yang memiliki kekeayaan modal sosial. Hal ini adalah kekuatan dalam menghadapi tentangan di masa yang akan datang. Kebudayaan nasional adalah proses yang tak berkesudahan. Tidak mengenal kata final. Adalah hal yang amat menarik untuk mengatakan bahwa kebudayaan kita, Kebudayaan Nasional Indonesia, senantiasa bergerak dinamis antara kebudayaan barat dengan kebidayaan timur; antara kebudayaan priyayi dengan kebudayaan rakyat; kebudayaan penjajah dengan kebudayaan terjajah dan mungkin masih dapat muncul yang lain lagi, dimana kesemuanya saling mempengaruhi dan membentuk kita sebagai sebuah bangsa yang menuju pada sebuah kebudayaan nasional, Indonesia. Hal ini semua membentuk kita saat ini disamping persoalan kebudayaan yang ada di Nusantara. Kiranya sangat perlu sebagai manusia Indonesia menemukan budaya ibu yang sebenarnya tanpa disadari menjadi induk dari berbagai budaya sukubangsa yang turut membentuk bangsa ini, Indonesia.

Daftar Rujukan
Anderson, B. R. O’G. 2000. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di
Indonesia. Terjemahan oleh Revianto Budi Santosa.Yogyakarta: Mata Bangsa.
Dewantara, K. H. 1948. Makalah K. H. Dewantara pada Kongres Kebudayaan Indonesia I, Magelang, tidak diterbitkan.
Erikson, E. H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Terjemahan oleh Agus Cremers. Jakarta: Gramedia.
Hill, D. T. 2005. Arah Perkembangan Bahasa Indonesia. Jawapos.com, 7 November 2005.
Hill, D. T. & Sen, K. 2001. Media, Budaya, dan Politik di Indonesia. Terjemahan oleh Sirikit Syah. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
Kleden, I. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
KOMPAS. Kamis, 21 April 2011. Hlm. 5. Peluncuran Buku, Kebudayaan jadi Jalan Utama pada Peradaban.
KOMPAS. Rabu 27 Juli 2011, hlm. 6, Mang Usil.
Krisnadi, I. G. 2001. Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979). Jakarta: LP3ES.
Miert, H. van. 2003. Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1931. Terjemahan oleh Sudewo Satiman. Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV Jakarta.
Riyanto, E. A. 2011. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Setiawan, H. 2004 (a). Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesiatera.
Setiawan, H. 2011 (b). Seputar Masalah Kebudayaan dan Kebudayaan Nasional. Tulisan tidak diterbitkan.
Suwondo, T. & Mardianto, H. 2001. Sastra Jawa Balai Pustaka 1917-1942. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Supardi, N. 2007. Konggres Kebudayaan (1918-2003). Yogyakarta: Ombak.
Kartodirdjo, S. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme sampai Kolonialisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wardaya, B. T (Ed.). 1999 (a). Menuju Demokrasi. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
Wardaya, B. T (Ed.). 2001 (b). Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Verstehen Edisi Perdana 1 Agustus 2010, untuk keperluan diseminasi pihak CCFS telah mendapatkan ijin dari penulis untuk mempublikasikan tulisan ini kembali.