Oleh  DIDIN RAHMAWATI –

Studi mengenai diaspora Aceh menawarkan cara pandang jitu dalam memahami akar permasalahan konflik separatis di Indonesia, khususnya di Tanah Rencong. Berdasarkan informasi-informasi yang dihimpun dari tokoh-tokoh diaspora Aceh dari Skandinavia, Australia, Malaysia, hingga Amerika Serikat, buku ini menawarkan pembahasan yang mendalam tentang konflik Aceh lintas batas negara.

Studi Antje Missbach (2012) Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh: Suatu Gambaran tentang Konflik Separatis di Indonesia mengungkapkan bahwa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia kemungkinan tidak akan berlangsung lama seandainya tidak didukung oleh komunitas diaspora Aceh yang berada di luar negeri.

Sampul Buku Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh: Suatu Gambaran tentang Konflik Separatis di Indonesia karya Antje Missbach (2012).

Kegiatan sosio-politik diaspora Aceh, terutama berpusat di Malaysia, Skandinavia, Amerika Serikat dan Australia, begitu signifikan bagi konflik dan politik di internal bumi Aceh. Intensitas hubungan antara diaspora Aceh dengan tanah air mereka diwarnai oleh konflik yang menimpa wilayah tersebut sepanjang tahun 1976-2005 dan kesulitan yang dialami orang Aceh baik di dalam maupun di luar negeri.

Politik jarak jauh selama tiga puluh tahun yang dilakukan oleh diaspora Aceh menjadi tonggak tersendiri melihat konflik separatis tersebut. Hal ini menandakan bahwa konflik tersebut dapat dianalisis dari berbagai persoalan, antara lain sosial, politik, dan aspek budaya Aceh. Fokus perhatian pada faktor eksternal yang terkait dengan orang Aceh di luar negeri dan dampaknya terhadap politik tanah air tidak dapat diabaikan.

Diaspora sebagai Alat Perjuangan Politik

Kajian Antje Missbach kemudian berkontribusi pada argumentasi bahwa diaspora Aceh memiliki dampak signifikan terhadap yang tinggal di Aceh dengan memusatkan perhatian pada hubungan segitiga antara tanah air, negara tuan rumah dan diaspora Aceh.

Antje Missbach saat memberi kuliah umum di Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Selasa, 28 Februari 2017 (Sumber foto suaramuhammadiyah.id 1 Maret 2017).

Adapun dikatakan oleh Antje Missbach bahwa terdapat tiga peran komunitas diaspora antara lain: Pertama, komunitas diaspora dapat memberikan pengaruh langsung bagi peristiwa di tempat asalnya dengan cara memberikan bantuan politik dan ekonomi bagi pergerakan kelompok sejawat di tempat asal (homeland country). Hal yang sama dilakukan dalam Revolusi Cina tahun 1911, di mana revolusi tersebut tidak bisa terlepas dari adanya dukungan finansial dari kaum perantauan.

Selain itu, hal serupa juga terjadi seperti peristiwa yang terjadi di Jerman, dalam hal ini komunitas Kroasia yang memasok senjata dalam mendukung etnis Kroasia untuk memisahkan diri dari Yugoslavia.

Contoh serupa berjalan layaknya di di Komunitas Diaspora Irlandia di Amerika Serikat yang mendukung secara finansial perlawanan IRA (Irish Republican Army) untuk mendirikan Republik Irlandia.

Kedua, komunitas diaspora dapat melakukan mobilisasi segenap kekuatan mereka untuk mempengaruhi negara penampung (host country) agar mengeluarkan kebijakan politik luar negeri yang menekan negara asal mereka (homeland country). Efek yang diharapkan ialah kompromi antara tiga pihak (komunitas diaspora, negara penampung, dan negara asal mereka) mengenai hal-hal politik tertentu.

Studi kasus serupa dilakukan komunitas diaspora Yunani yang melobi Kongres Amerika Serikat untuk melakukan embargo bantuan militer bagi pemerintah Turki dalam peristiwa upaya pemisahan Negara Siprus.

Poster protes di Amerika Serikat tahun 1988 mengenai praktek Apartheid di Afrika Selatan dan desakan pembebasan pemimpin anti diskriminasi warna kulit Nelson Mandela (Sumber: /id.pinterest.com/Brian_Galyean/south-african-propaganda/)

Hal serupa juga dapat dilihat dalam peran komunitas diaspora Afrika Selatan dalam mempengaruhi Senat Amerika Serikat untuk menentang kebijakan Apartheid Pemerintah Afrika Selatan. Hal inilah yang lantas ditiru oleh komunitas diaspora Aceh, di mana mereka mempengaruhi pemerintah Swedia untuk menekan pemerintah RI agar mau menghentikan kekerasan dan membuka pintu perundingan.

Ketiga, dalam kasus tertentu, mungkin saja komunitas diaspora dapat meminta perlindungan dari negara asal (homeland country) agar membebaskan mereka dari perilaku diskriminatif, dan berbagai bentuk penindasan lainnya.

Contoh perhal ini ialah berbagai kelompok diaspora yang terbentuk dari migrasi ekonomi seperti yang dilakukan kaum diaspora Turki di Jerman dan kelompok diaspora Aljazair di Perancis. Mereka melobi pemerintah negara asalnya untuk menekan pemerintah negara penampung agar lebih memperhatikan hak-hak mereka.

Diaspora sebagai Jaringan Intelejen

Pemerintah Indonesia sendiri melalui komunitas diaspora Indonesia sebenarnya dapat memperoleh keuntungan yang besar. Keberadaan komunitas tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah Indonesia guna melakukan counter-politic terhadap komunitas diaspora separatis yang berada diluar negeri. Contoh tersaji dengan adanya pembukaan kantor cabang Papua merdeka di Inggris.

Logo Kongres Diaspora Indonesia (Sumber Istimewa).

Hal tersebut dapat di siasati dengan melobi ataupun menekan pemerintah tempat di mana kantor tersebut dibuka agar membatalkan pembukaan kantor tersebut. Bila terjadi demikian maka peristiwa tersebut tidak perlu sampai dimuat di media massa.
Fungsi lain komunitas diaspora Indonesia ialah berpeluang menjadi suatu jaringan intelejen terhadap kelompok di luar Indonesia yang berupaya memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Korban di Kedua Belah Pihak

Melihat konflik ini dengan pandangan yang objektif merupakan tantangan tersendiri. Tidak memihak “Rezim Penguasa” ataupun “Para Kapitalis Berkedok Saparatis”. Memunculkan perspektif kemanusiaan dalam bentuk empati pada korban dari kedua belah pihak merupakan keniscayaan.

Banyak sekali korban sipil yang berjatuhan oleh dua kepentingan ini. Satu sisi ingin menegakan nasionalisme dan bertekad untuk tetap mempertahankan Aceh sebagai wilayah NKRI. Sisi yang lain berusaha melepaskan diri dari wilayah Indonesia karena ketidakadilan yang terlanjur menjadi azimat perjuangan.

Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Pemuda Partai Aceh (PPA) menggelar diskusi publik bertajuk “Ingatan Aceh untuk Munir” pada peringatan 13 Tahun Pembunuhan Muunir pada 7 September 2017 di Bireuen. Munir berperan aktif memperjuangkan perlindungan HAM di tengah-tengah kekerasan konflik separatis dan DOM (Daerah Operasi Militer) dilakukan di era Presiden Megawati Sukarnoputri (Sumber baranewsaceh.co 7 September 2017).

Terlepas dari semua propaganda yang diserukan, memang terjadi perlakuan tidak adil terhadap wilayah yang dinamai Serambi Mekah ini oleh pemerintah RI di masa lampau.

Rakyat Aceh hanya menuntut hak mereka atas apa yang telah mereka berikan selama ini kepada Indonesia sejak masa perjuangan (Revolusi Fisik). Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar.
Melalui perspektif ini muncul spekulasi bahwa atas nama kemanusian, penjahat sebenarnya adalah pemerintah dan kelompok separatis yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusian yang pernah terjadi di bumi Indonesia. Segala kepentingan mereka berimbas pada rakyat yang seolah-olah menjadi boneka dalam peristiwa ini untuk menunjukan eksistensi kepentingan mereka.

Pekerjaan Rumah Memfasilitasi Diaspora

Kemampuan pemerintah Indonesia melakukan upaya positif untuk menggalang kekuatan diaspora yang berada di seluruh dunia merupakan pekerjaan rumah yang tidak bisa dianggap remeh. Pemerintah perlu terus mengupayakan bersama-sama diaspora membangun Indonesia. Mereka perlu difasilitasi dan disediakan upaya konkret di mana ide dan segala bentuk sumbangan mereka dapat dilaksanakan di Indonesia.

Jangan sampai respon positif yang dilakukan diaspora tersebut justru kemudian berbuah kekecewaan besar karena respon lambat dari pemerintah yang tidak mau berubah dan mendapatkan masukan dari mereka.

Jangan sampai pula deklarasi diaspora Indonesia di Los Angeles, USA tahun 2012 silam dalam berbagai bahasa dan dicap sebagai Sumpah Pemuda Ke-II bangsa Indonesia justru berubah menjadi suatu sumpah yang bersama-sama tidak peduli kepada tanah air leluhurnya: Indonesia.
_____

Didin Rahmawati, Peserta SM3T Angkatan V, LPTK Universitas Negeri Malang. Penempatan Pulau Simeulue, Aceh.