Oleh

ANDHIKA YUDHA PRATAMA, Pengajar Jurusan PPKn Universitas Wisnuwardhana, Malang –

Sebuah misi luar biasa diperlihatkan Sukarno, Sang Pemimpin Besar Revolusi, untuk mengirim misi kesenian Indonesia ke mancanegara. Misi kesenian yang dilakukan sepanjang periode 1952-1965 terhitung nekat. Kondisi dalam negeri yang belum sepenuhnya stabil pasca revolusi fisik; Pembiayaan negara yang belum begitu kuat; dan berbagai fasilitas kesenian yang serba terbatas tak menghalangi misi kesenian untuk tetap dikirim.

Misi kesenian nekat itu terbilang sukses di puluhan negara. Kenekatan misi ini semakin menggetarkan di tengah-tengah Perang Dingin yang berkecamuk dan justru di beberapa negara yang dikunjungi masih berlangsung peperangan, antara lain Perang Korea, Perang Vietnam, hingga krisis di Terusan Suez. Melalui misi kesenian ke mancanegara inilah posisi tawar Indonesia turut dipertimbangkan oleh dunia internasional.

Ketika terjadi Perang Korea, Indonesia bisa dengan leluasa menggelar tarian dan musik di Pyongyang, Korea Utara dan memberi hadiah bunga anggrek bagi Pemimpin Kim Il Sung titipan Presiden Sukarno. Kelak bunga pemberian Sukarno ini menjadi bunga nasional Korea Utara. Menjelang konfrontasi blok timur dan barat yang berakhir dengan konflik militer di Vietnam, lagi-lagi kelompok kesenian Indonesia dengan riang bisa menyuguhkan kesenian dengan damai.

Gambar 1) Sampul Film Dokumenter Menggelar Indonesia: Misi Kesenian ke Mantja Negara 1952-1965. Film yang diproduksi tahun 2010 ini mengisahkan misi kebudayaan Indonesia ke pelbagai negara, antara lain Srilanka (1952), RRC (1954), Pakistan (1954), Cekoslowakia, Hongaria, Polandia, Uni Soviet, dan Mesir (1957), Singapura (1959), Hawaii, Jepang, Hongkong, Filipina, Singapura (1961), Uni Soviet, RRC, Korea Utara, Vietnam Utara (1961), Thailand (1962), Filipina (1963), Pakistan (1964), Kamboja, Jepang (1964), Amerika (New York), Belanda, Perancis (Paris) (1964), Tanzania (1965), RRC, Korea Utara, dan Jepang (1965).

Duta Budaya Berbagi Kisah

Saat blok timur dan blok barat semakin berjibaku memperebutkan hegemoni dunia, Indonesia dengan penuh percaya diri menikmati pertukaran budaya di negara-negara yang bertikai itu. Film dokumenter Menggelar Indonesia: Misi Kesenian ke Mancanegara, 1952-1965 karya Jennifer Lindsay menggambarkan jelas hal-hal di atas secara epik.

Film dokumenter karya Indonesianis asal Australia ini terkesan menjemukan. Hal itu dikarenakan tidak banyak konflik yang ditampilkan maupun cuplikan video konfrontasi fisik yang seru sebagaimana cerita-cerita seru yang memacu adrenalin penonton. Alur film berfokus pada penuturan banyak pelaku yang berbagi kisah.

Gambar 2) Jennifer Lindsay, sang sutradara, di tengah-tengah pemutaran film Menggelar Indonesia di Jakarta, 5 Agustus 2010 (Foto Koleksi Komunitas Salihara).

Cerita yang disampaikan para pelaku di dalamnya sepenuhnya kisah-kisah indah penuh kemenangan tanpa konfrontasi. Film ini mengajak penonton tidak hanya sekedar mengetahui misi kesenian ke mancanegara yang digagas oleh Sukarno, melainkan menawarkan permenungan dan pola pikir reflektif. Kesadaran budaya menjadi salah satu titik krusial sebagaimana yang dipertunjukkan para pelaku dahulu. Budaya yang dimaksud bermakna luas yang tidak hanya terbatas atas penafsiran pada budaya estetis saja.

Misi kesenian Indonesia ke mancanegara tentu saja bermuatan politis. Diplomasi yang menjadi bagian dari strategi politik Sukarno dijalankan melalui pendekatan kesenian. Sukarno merasa perlu untuk membuat relasi yang lebih serius dibanding sekedar bertukar pengetahuan soal kesenian. Sukarno merasa perlu untuk bermitra dengan para pemimpin dunia guna menopang misi-misi globalnya yang terus ia gelorakan.

Perang Dingin, konfrontasi tajam antara blok komunis dan kapitalis, aliansi dari negara-negara yang baru saja lepas dari belenggu kolonialisme sampai benturan berbagai ideologi merupakan kemungkinan-kemungkinan yang bergelayut dibalik misi kesenian ini. Titik politis inilah yang tidak disinggung sama sekali oleh Jennifer Lindsay. Film yang dibuat selama 2 tahun ini memperlihatkan bahwa sutradara seakan-akan hanya ingin menampilkan sisi-sisi manis era Sukarno.

Gambar 3 & 4) Dua maestro seni tari yang masa mudanya menjadi duta-duta budaya misi kesenian Indonesia untuk melanglang buana di bawah arahan Presiden Sukarno. Kiri, Bulantrisna Djelantik merupakan maestro seni tari Bali (Foto Koleksi FB Bulantrisna Djelantik, 2016). Kanan, Retno Maruti adalah maestro tari klasik Surakarta yang sedang tampil di penutupan Festival Payung di Puro Mangkunegaran, 17 September 2017 (Foto Koleksi Soebijanto-Reog Biyan).

Kesadaran dan Ketahanan Budaya

Misi kesenian ke mancanegara sangat jelas berdampak. Melalui penuturan hampir 30-an seniman disinggung mengenai upaya asosiasi trans-budaya di Indonesia. Asosiasi berbagai kesenian antar daerah dalam misi ini jika dikaitkan dengan parameter ketahanan budaya terlihat bahwa misi ini tidak hanya berdampak keluar namun juga berdampak ke dalam.

Dampak ke dalam yaitu terdapat upaya menjaga dan melestarikan kesenian (kebudayaan) daerah sehingga menciptakan eksistensi terhadap kesenian itu sendiri. Ada tiga parameter sederhana untuk bisa menakar bahwa sebuah budaya dikatakan memiliki daya tahan. Pertama, mampu menciptakan pembangunan kesadaran budaya. Kedua, mampu membangun ikatan budaya antar masyarakat yang menciptakan eksistensi terhadap kebudayaan itu sendiri. Ketiga mampu memberikan penangkalan terhadap penetrasi kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan luhur bangsa.

Misi kesenian ini memiliki pencapaian terhadap indikator-indikator dari ketahanan budaya di atas. Melalui misi ini akan tercipta suatu keterikatan budaya antara budaya daerah satu dengan deaerah lain sehingga menciptakan satu eksistensi baru di zamannya. Asosiasi antar budaya yang terwakili oleh kesenian inilah yang mungkin bisa disebut sebagai kebudayaan nasional yang pendefenisiannya masih dalam perdebatan hingga kini.

*Versi awal tulisan ini disajikan dalam pemutaran film Menggelar Indonesia: Misi Kesenian ke Mantja Negara 1952-1965 dalam Kelas Pemikiran dan Pendidikan Politik-KP3 Seri ke-5 yang diselenggarakan dengan dukungan Pusat Studi Budaya dan Laman, LPPM, Universitas Brawijaya pada Jumat, 21 Juli 2017 di Kedai Tjangkir 13, Jl. Bondowoso No. 35E, Kota Malang. Versi tulisan ini telah dikembangkan atas seizin penulis.