Sudah seminggu ini membaca koran lokal di Malang, isinya sama, soal korupsi berjamaah para anggota DPRD Kota Malang. Ritual pagi membaca koran tersebut bertambah dengan tambahan menu baru, menggerutu. Suguhan kopi pahit warung depan rumah terasa tambah pahit dan pisang goreng juga terasa lebih hambar.
Seharunya ritual pagi ini cukup untuk memberikan semangat menyambut minggu ini, dengan semangat baru. Tapi, minggu ini terasa lebih berat dari biasanya. Sebagian besar mereka-mereka yang dipanggil “menghadap” oleh KPK ini cukup dikenal publik. Bagaimana tidak, mereka semua masih menjabat dan aktif muncul di acara-acara publik, tanpa perasaan bersalah. Ah, jangan-jangan memang mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu bukan korupsi, tapi hanya sekedar menerima. Logika ini, kata orang Jawa, memang agak cethek.
Sudah lama di kalangan anggota dewan dan masyarakat Malang sendiri, bisik-bisik mengenai perilaku yang tidak sesuai etika sering terdengar. Tapi, semuanya serasa abai karena penampilan mereka semua yang “religius” itu dianggap tidak mungkin rasanya untuk mencuri uang rakyat. Ya betul, penampilan religius ini seolah-olah jadi ukuran kebaikan seseorang dan akhirnya ketika nama-nama mereka diumumkan oleh KPK sebagai tersangka, masih saja kita tidak percaya. “
“Ah, tidak mungkin” kata salah seorang pejabat yang saya kenal.
“Saya kenal betul orang itu. Rasanya tidak mungkin. Setiap hari saya ketemu dengan dia di Masjid” timpal yang lain.
“Pasti ini jebakan. Orangnya sangat baik di RT. Rajin memberikan sumbangan jika ada kegiatan-kegiatan RT sini” salah seorang pengurus RT di lingkungan salah seorang yang menjadi tersangka.
Satu seruput kopi ini menjadi semakin terasa pahit.
Memang kalau memberikan sumbangan ke tempat ibadah, panti asuhan atau kegiatan di lingkungan warga sudah tergolong orang baik ? Rasanya cukup banyak fenomena seperti itu diangkat oleh masyarakat untuk menunjukkan bahwa perilaku korupsi semacam itu karena musibah.
‘’Musibah mbah mu’’ kata seorang kawan ketika diminta tanggapan atas apa yang terjadi di Kota Malang ini.
Apa sebenarnya yang terjadi akibat perilaku korupsi menjelang Pilkada Kota Malang ini? Jika kita bisa belajar dari tahun-tahun sebelumnya sejak Orde Lama, Orde Baru dan bahkan Orde Reformasi tentang perilaku korupsi mungkin perjalanan bangsa ini punya cerita lain. Jika kita mampu belajar dari perjalanan bangsa itu, jawabannya jelas bahwa kita tidak akan ada fase korupsi seperti ini lagi! Sekarang, mustahil rasanya.
Teringat, cerita dari negeri Tiongkok sana dalam memperlakukan para koruptor, tiada lain hukuman yang paling pantas adalah mati. Kasus Chen Keijie, menyita perhatian bagaimana kerasnya Pemerintah Cina berperang melawan koruptor.
Tentu saja, hukuman mati dianggap paling pas buat para pelaku bukan karena hal itu adalah perilaku setimpal, tapi karena pemerintah Tiongkok percaya bahwa korupsi adalah ancaman paling mematikan bagi perkembangan ekonomi mereka (Pei Minxin, the Roots of China’s Corruption). Bukan persoalan berapa yang diambil, lebih pada ini adalah semacam virus yang telah merusak generasi mulai zaman keemasan raja-raja Cina sampai dengan zaman modern ini. Korupsi adalah salah satu penentu keruntuhan bangsa Cina di masa lalu.
Di Cina, korupsi (fubai, tanwu) telah ada sejak masa lampau. Catatan pada masa dinasti Zhou (1027-771 SM) menunjukkan bahwa korupsi menjadi ancaman serius. Begitu juga dengan dinasti-dinasti lainnya. Pada tahun 1911, korupsi Cina semakin merajalela dan hal ini dianggap sebagai awal mulai keruntuhan Partai Nasionalis bentukan Sun Yat Sen. Meskipun komunis akhirnya memenangi perang saudara tersebut, perilaku korupsi juga merebak di masa pemerintahan komunis sejak tahun 1949. Periode pemerintahan Mao Zedong (1949-1976) juga tidak luput dari tragedi korupsi ini, hanya lain bentuk dan ragam.
Kita hari ini miris mendengar perilaku korupsi pejabat publik kita mulai dari pejabat eksekutif, pejabat kehakiman, dan bahkan jauh-jauh sebelumnya perilaku pejabat legislatif. Mereka adalah cerminan perilaku dari orang-orang “terhormat” telah yang kita pilih atau bahkan dipilih untuk menentukan nasib sebagian besar anak bangsa ini. Perilaku korupsi itu dalam kenyataannya memang menular, selama ada peluang dan kesempatan. Ia muncul dalam bentuk dan variasi yang lain, namun semuanya sama, membuat kerusakan mental.
Bukan sebatas pada kerusakan mental, korupsi pada suatu masa kadang dianggap hanya sekedar gagasan atas degradasi moral. Ini berbahaya jika pelabelan korupsi kita sematkan pada konteks tersebut. Ini harus kita membentangkan pemahaman kita tentang korupsi sebagai fenomena kausal yang memiliki dampak yang serius ke depannya. Karakter koruptor yang terkenal santun, murah senyum dan rajin beribadah juga fenomena kausal yang mengajak kita untuk lebih serius memikirkan ide untuk melawan korupsi.
Rakyat bukan tak melawan, mereka melawan dengan memberikan hukuman atas kelakuan korupsi sejumlah elite dengan tidak memilih mereka kembali atau tidak memilih partai politik yang mendukungnya. Tapi kalau para pelaku korupsi ini berjemaah dan kemudian menyodorkan calon yang terindikasi korupsi, rakyat bisa apa?
Bagi orang-orang di Kota Malang saat ini, memilih itu bagaikan buah simalakama dalam sistem demokrasi. Tidak memilih, bisa dikategorikan sebagai tindakan tidak mendukung korupsi. Kalau memilih, apa ada jaminan mereka betul-betul bersih? Pilkada itu sebenarnya ibarat ikrar suci untuk memilih pemimpin yang memiliki jiwa pelayanan antara rakyat dan pemimpinnya. Apakah ini sebuah cacat dalam demokrasi kita?
Ada satu diktum politik yang sangat terkenal, “Power corrupts and absolute power corrupts absolutely”, yang harus diingat dalam sebuah negara yang demokratis. Diktum ini mengingatkan bahwa demokrasi adalah suatu warisan yang sangat mahal di negeri ini dan harus dijaga melalui norma-norma yang telah ditetapkan oleh konstitusi kita dan juga norma budaya kita. Demokrasi adalah pesta idealisme untuk mewujudkan harapan bersama. Demokrasi adalah hakikat utama dalam bernegara menuju masyarakat yang adil dan makmur. Lalu kenapa demokrasi harus kita khianati untuk tujuan pemuasan ekonomi semata-mata?
Lagi, suatu pelajaran dari Kota Malang kita peroleh tentang kehidupan demokrasi Indonesia. Bahwa kita harus mengintrospeksi diri bahwa sistem demokrasi ini telah digerakkan oleh uang, ambisi berkuasa, keinginan memerintah, hasrat tamak untuk menjadi kaya dan abai terhadap sikap pelayanan. Demokrasi kita dicederai oleh sikap-sikap yang bermula dari mental korupsi tersebut.
Tak ayal, kita akan menentukan pilihan antara demokrasi dan korupsi pada Pilkada ini. Tahun ini, rakyat tak punya pilihan. Rakyat ternyata masih menjadi komoditas dalam sistem demokrasi yang tercederai ini. Kita geli, muak dan marah atas perilaku koruptor dalam pentas demokrasi itu, tapi apa pilihan kita jika para pemimpin sudah seperti itu?
Rasanya rakyat tak berdaya dan kian tak nyaman di rumah sendiri.
© John K. Cecep