Saya heran, kenapa puisi lama tersebut menjadi heboh. Sepengetahuan saya, puisi itu sudah bolak-balik dibacakan di berbagai acara dan baru sekarang puisi itu mendapat perhatian penuh dari anak bangsa ini. Apakah ini indikator membaiknya sebuah budaya membaca di negeri kita? Atau kalau mau lebih berandai-andai lagi, budaya membaca sastra kita sedang menggeliat?
Oh ya, puisi yang saya maksudkan adalah puisi berjudul “Ibu Indonesia” karya Sukmawati Soekarnoputri, anak pendiri bangsa dan sekaligus proklamator Republik Indonesia, Sukarno. Puisi itu menjadi heboh ketika dibacakan dalam perayaan 29 Tahun Anne Avantie berkarya dalam dunia rancang busana. Ya pastinya juga heboh, acara Indonesian Fashion Week itu kan banyak diliput media.
“Puisi itu bikin gaduh negara ini saja” seru seorang politisi yang gemar berpuisi. Sang politisi menganjurkan buat Ibu Sukma, penulis puisi itu, untuk mengklarifikasi puisinya karena dianggap dapat menimbulkan makna yang beragam. “Saya kira mestinya diklarifikasi Bu Sukma karena tentu bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dan terutama dari umat Islam” seru politisi dari partai oposisi pada sejumlah wartawan di gedung dewan. Seraya mengingatkan bahwa puisi ini sensitif karena menyinggung soal adzan dan cadar. Saya berpikir, bukannya sebuah puisi itu interpretatif?
Teman politisi yang lain menanggapi dengan santai, “puisi itu kan subyektif, jadi itu terserah pada yang menulis”. Lebih lanjut sang politisi mengungkapkan “yang lain juga banyak yang berpuisi, tapi tidak heboh” katanya mengingatkan pada puisi yang dibaca oleh seorang pensiunan jenderal yang ingin mengadu peruntungan pada tahun politik mendatang. “Kenapa itu tidak heboh?” balik bertanya ke saya.
Kata seorang pensiunan pimpinan redaksi dan sekaligus pemilik majalah terkenal di negeri ini, “Puisi itu jelek sekali! Kenapa harus diributkan, apa tidak ada puisi yang lebih baik?“ Sang pensiunan ini pun menyarankan untuk membuat puisi yang lebih indah dari puisi jelek itu. “Jadi kalau puisi di balas puisi, tidak usah turun ke jalan” katanya menanggapi dengan enteng. Entah maksudnya benar atau tidak, seruan ini pun tidak kalah ramainya diributkan di dunia maya. Untuk sebuah puisi, memang luar biasa energi bangsa ini!
Maka, beramai-ramai anak bangsa yang merasa dilecehkan ini melaporkan sebuah puisi ke kantor polisi. Para pelapor itu mulai muncul dari berbagai belahan kota di negara ini dan melapor ke kantor polisi terdekat. Melapor untuk sebuah kata dalam puisi yang dinilai melecehkan agama dan para penganutnya. Jujur, polisi di negara ini harus belajar membaca puisi juga akhirnya. Mungkin itu kabar baiknya untuk kepolisian kita, agar mereka bisa berpuisi juga, yang sedang dibuat sibuk oleh laporan tentang puisi tersebut.
Pada akhirnya, sebuah demonstrasi, dengan embel-embel angka-angka penting misal 212, 313 dan yang lainya, dipersiapkan untuk satu tuntutan yaitu memenjarakan sang seniman. Dipilih hari Jumat, hari yang sangat dihormati, dengan tujuan memusatkan sebuah energi untuk membela agama yang katanya dizalimi.
Sejak ditemukannya puisi Gilgamesh oleh Hormuzd Rassam tahun 1853, puisi menjadi cerita atau sebuah kisah hilang dan tumbuhnya suatu peradaban dunia. Epos Gilgamesh di dataran agung Mesopotamia sekitar abad ke-3 SM (2100 BC) silam mencatat perjalanan di kerajaan yang disebut Uruk. Alkisah, Gilgamesh, raja Uruk adalah dua-pertiga raja yang gemar menindas rakyatnya, para perempuan dipaksa untuk melayani nafsu sang raja, para lelaki dipaksa untuk bekerja paksa. Para rakyat pun berdoa agar dewa menghentikan kebiadaban sang raja. Para Dewa mengabulkan permohonan rakyat Uruk dengan menciptakan manusia setara Gilgamesh, yaitu Enkidu, orang primitif yang mengemban tugas mulia memulai sebuah peradaban baru yang lebih manusiawi.
Kisah lain tentang puisi muncul di Cina, dikenal dengan Shijing, model ini lebih banyak berbicara tetang estetika dan etika sebuah ritual. Ya mungkin karena “aliran” puisi ini lebih mengikuti gaya Konfusianisme. Puisi juga berkembang pesat mulai Yunani dengan epos Illiad dan Oddssey (800 – 675 SM, Iran dengan Gathic dan Yasna Avesta, Virgil Aenied Romawi dan tentu saja India yang dikenal dengan tradisi puisi Ramayana, Mahabrata dan bahkan Veda (baca Weda, 1700-1200 SM). Semuanya bercerita dan merekam perjalanan peradaban bangsa mereka. Entah itu pahit, manis, indah dan bahkan belum ada jawabannya untuk sebuah pristiwa. Jika merujuk ke zaman kerajaan Nusantara, mungkin puisi, entah berbentuk apa, sebenarnya sudah lama ada. Mungkin lo ini, saya bukan orang sastra, jadi anggap saja saya sedikit mengingau dengan asumsi seperti itu.
Hanya pada zaman-zaman ketika Belanda mulai masuk dalam peradaban Nusantara, kelak disebut Indonesia, puisi lahir sebagai tanda dan bagian perjuangan bangsa untuk menuju kemerdeaak. Ia hadir menyuarakan kegelisahan anak bangsa sebagai korban praktik kolonialisme. Tentu saja, pemerintah Belanda marah besar terhadap puisi-puisi model begini. Praktiknya, penjara bagi mereka! Begitu terus, mulai dari angkatan yang disebut dengan Balai Pustaka (1920an), Pujangga Baru (1930-1942), Angkatan 45 (1942-1953), Periode 1950an (penyair kegemaran saya WS Rendra dan Ramadhan K. H ada di dalamnya), periode tahun 1960-1980an adalah era seperti Sapardi Djoko Damono, kemudian periode 1980an-2000 dan periode sesudahnya, puisi seolah-olah bercerita dengan cara yang berbeda. Indah, begitulah pengagum sastra menyebut aliran cerita di dalamnya. Puisi-puisi itu semua mencatat perkembangan zamannya. Mengingat zamannya melalui kata dan diksi yang indah.
Puisi memang adalah kalimat dan sajak yang indah tentang suatu lini masa. Ia muncul dari gejolak keresahan, ketakutan, kekawatiran, kemarahan, kesenangan, dan mungkin kebahagiaan. Puisi mungkin muncul sebagai hiburan, pada saat yang lain ia muncul mewakili perasaan kita dan pada saat yang lain ini muncul sebagai kekuatan politik. Kapan kita tahu itu? Jawabannya adalah tergantung atas situasi subyektif kita saat itu. Ketika mewakili perasaan kita maka puisi akan benar-benar menubuh dengan pikiran kita, jika tidak ia akan menguap begitu saja. Kita bisa melihat kemarahan dalam puisi karena kita secara sadar tahu bahwa kita menjadi marah oleh pesan yang hendak di sampaikan sang penulis. Kita bersedih membaca puisi karena kita tahu bahwa sang penulis sedang mengajak kita berbagi kesedihan yang dialaminya atau barangkali dilihatnya. Jika penulis sedang prihatin terhadap lini masa yang sedang dijalaninya dan itu ditulisnya dalam selembar puisi, kenapa kita harus marah? Kita gagal menatap kegalauan penulis akan dunianya. Bisa jadi penulis yang belum berhasil menggugah pembacanya. Atau jangan-jangan kita sudah tidak sadar hidup antara realita dan utopia.
Puisi menciptakan ruang dan waktu sendiri. Tak kentara puisi melintasi zaman dan diadili pula oleh zaman. Lihat cerita ketika HB Jassin, tokoh sastra Indonesia, pada tahun 1969 diadili di pengadilan karena majalah yang dipimpinnya, Majalah Sastra, memuat cerita tentang Kipanji-kusmin yang dianggap memersonifikasikan Tuhan secara bebas. Padahal jauh sebelumnya Amir Hamzah telah menulis dengan beringas perasaannya akan Tuhan dengan mengatakan “Engkau cemburu/Engkau ganas, Mangsa aku dalam cakarmu/Bertukar tangkap dengan lepas, Nanar aku gila sasar/Sayang berulang padamu jua, Engkau pelik menusuk ingin/Serupa dara di balik tirai, Kasihmu sunyi/Menunggu seorang diri, Lalu waktu – bukan giliranku/Matahari – bukan kawanku” dalam suatu puisi “Nyanyian Sunyi”. Tapi tidak ada gejolak massa seperti sekarang. Tidak ada protes yang melumpuhkan kota sebesar Jakarta hanya karena sebuah puisi.
Massa seolah-olah punya ruang dan waktu begitu dalam untuk merenungkan sebuah puisi. Saya bertanya, sejak kapan orang di negeri ini begitu punya waktu untuk merenungkan sebuah puisi. Eh, jangan pilih kata “merenung”, mungkin pertanyaan itu kita ganti saja dengan sejak kapan anak bangsa ini punya waktu untuk membaca sebuah puisi?
Saya jadi mulai takut menulis, ketika tulisan yang saya ciptakan dengan susah payah supaya kelihatan indah dianggap melecehkan kelompok atau agama tertentu. Apakah saya tidak bisa berpuisi dengan bebas? Atau adalah suatu keharusan setiap berpuisi saya harus melapor dulu. Jangan-jangan berpuisi di kamar mandi pun tidak akan bebas lagi saya lakukan kepada cecak dan kecoak yang ada di kamar mandi rumah saya? Jangan-jangan mereka juga mencari jejak di mana saya dianggap menghina kehidupan mereka.
Kalau Roland Barthes, filsuf besar bangsa Perancis masih ada, mungkin dia akan terkekeh-kekeh melihat bangsa ini berjalan seraya mengisap rokoknya dalam-dalam sambil berkata “harusnya mereka baca La mort de l’auteur (matinya sang pengarang, the death of the author), sambil minum kopi”. Mungkin dia juga akan berpikir, apakah kelak bangsa Indonesia ini akan banyak yang mengisi penjara gara-gara berekspresi dalam seni dan bahasa?
Kepala saya tidak tahan dengan imajinasi-imajinasi yang ada dan ingin saya muntahkan dalam sebuah puisi, tapi puisi tentang apa? Mungkin puisi imajiner tantang puisi yang tak tertulis, yang hendak disampaikan dalam bahasa isyarat seperti kata Sapardi Djoko Damono. Yang akhirnya, berpuisi hanya sebatas kata, aku ingin…
© John K. Cecep