Oleh Riwanto Tirtosudarmo*

Berita kepergian Pak John, begitu kami biasa memanggilnya, datang terasa begitu mendadak, ketika aku masih di kereta Bima, menuju Malang. Baru kemarin, di hari Minggu, saat menghadiri pesta pernikahan anaknya Joko Kristanto, teman dari LIPI juga, aku mencari-cari dia diantara teman-teman yang hadir, kebetulan ada Pak Hisyam dan Pak Patji, kolega-kolega LIPI yang seperti saya dan Pak John, sama-sama pensiun setahun yang lalu.

Ada semacam perasaan satu korps yang agak mendalam, antara kami berempat, Pak John, Pak Hisyam, Pak Patji dan saya; selain karena seusia dan karena itu pensiun bersama, juga karena kamar kerja kami, setelah kantor kami diubah jadi kubikal, di lantai 6, Gedung Widya-Graha LIPI di Jl. Gatot Subroto 10, berderetan, kamar saya diapit sebelah kiri oleh kamar Pak John dan sebelah kanan oleh kamar Pak Hisyam. Sementara Pak Patji di sebelah sana.

Kami orang-orang yg suka bercanda, kadang-kadang saling mengejek, sambil senyum-senyum, tidak jarang di belakang punggung yang lain. Terutama dengan John, kebiasaan saya memanggilnya, sering saling canda, melempar guyonan dari kamar masing-masing lewat dinding yang terbuka bagian atasnya. Biasanya, pagi-pagi dia sudah nyamperin saya, masuk begitu saja, karena pintu kamar kerja saya selalu kubuka. John sudah hafal saya selalu membawa bekal dari rumah, biasanya pisang atau ubi rebus, dan dia tahu selalu ada bagian untuknya. Jadi, pagi-pagi biasanya kami sudah bercanda, menghitung hari yang tersisa di kantor sambil membayangkan apa yang akan kami lakukan setelah pensiun nanti. Hampir tidak pernah dia memperlihatkan rasa sedih karena mau pensiun, dan itu sangat menyenangkan buat saya.

Kami semua menjadi kaget, ketika sehari sebelum hari ulang tahunnya yang ke 65, usia pensiun kami, kami dengar Pak John stroke, dan kakinya lumpuh sebelah. Padahal, di hari ulang tahunnya itu, akan diluncurkan buku kumpulan tulisan sahabat-sahabatnya untuk Pak John. Ketika ada acara resmi di kantor untuk pelepasan kami karena pensiun, saya gembira karena Pak John bisa hadir meskipun dengan kursi roda. Sejak pensiun saya hanya sempat bertemu John dua kali saja. Ketika kami menengok ke rumahnya sehabis menghadiri perkawinan Usman, kolega muda di kantor di Ciputat, tidak jauh dari rumah John di Pamulang; dan ketika John dan istrinya hadir, dan terlihat gagah dengan baju tenun ikatnya, tanpa kursi roda, di perkawinan anak kami tanggal 5 November tahun lalu. Selain dua pertemuan tatap muka itu, komunikasi kami hanya lewat Whatsapps, dimana kami bisa meneruskan kebiasaan kami, saling sapa dan saling canda.

Agak lama memang saya tidak menyapa Pak John via Whatsapps, meskipun saya yakin dia semakin sehat keadaannya. Beberapa pesan dari John sebelumnya memberitakan dia terlihat sibuk dengan jabatan barunya sebagai pendeta resmi, dari Banjarmasin, dari Bali dan lain-lain. Karena itu, ketika tiba-tiba berita kepergian John datang, terasa begitu mendadak, terasa begitu cepat, hampir-hampir tidak percaya rasanya. Wajahnya yang selalu ceria dengan senyumnya yang selalu dikulum dan agak jahil: masih terasa hangat di hadapan saya, sambil mencomot ubi atau pisang rebus kesukaannya.

Sebagai teman seumur di kantor, John meskipun tidak sering, membuat kami beberapa kali jalan bersama, kalau tidak untuk penelitian, untuk menghadiri seminar dan konferensi. Kami sama-sama melakukan penelitian di perbatasan Kalimantan dan Serawak dan Sabah, menulis dan menerbitkan buku bersama dari hasil penelitian kami. Kami sama-sama presentasi di seminar internasional di Tokyo, Kyoto, Kota Kinibalu dan berbagai tempat lain. Banyak sekali ingatan saya tentang John. Bagaimana John harus menemui para pekerja asal NTT yang sedang di penjara di Kucing Sarawak. Bagaimana kami berdua dianggap sebagai pastor Katolik di komunitas pekerja asal Flores Tawau Sabah. Selalu menyenangkan pengalaman bersama John karena keceriaan hati dan optimisnya memandang kehidupan. Mungkin darah pendetanya selalu membuat dia teduh dan selalu ingin berbuat baik untuk umatnya – kami domba-domba yg tersesat. Mengenang John Haba bagi saya adalah mengenang sebuah rahmat, sebuah kebaikan. Selamat jalan John!

(Kereta Bima, 10 April 2018, 22.30)

*Riwanto Tirtosudarmo adalah peneliti senior Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta dan anggota dewan pengawas Pusat Studi Budaya dan Laman Batas (CCFS) Universitas Brawijaya.

19,115 Thoughts on “Mengenang Sahabat, John Haba (1952-2018)”