Oleh Awani Irewati

Pagi itu, 26 Oktober’19, kapal riset “Barunajaya VIII” baru bergerak, menjauh dari Bitung. Ombak tenang dipagi hari menghantar deru mesin kapal ini menuju ke Samudera Pasifik.Misi mengunjungi 5 pulau-pulau kecil terdepan (PPKT) di Pasifik ini belum terbayang kala itu. Persiapan dan observasi di ‘atas kertas’ sudah lengkap, termasuk perlengkapan logistik dan sejenisnya. Rasa penasaran sekaligus cemas tak bisa dipungkiri lantaran ini memang kali pertama melakukan ekspedisi ke Samudera Pasifik. Bayangan atas besarnya ombak samudera tak lepas dari benak pikiran.

Semakin lemahnya sinyal komunikasi menandakan semakin menjauhnya kapal bergerak keluar. Tantangan berikut adalah menjaga keseimbangan badan dengan alunan ombak samudera yang menyebabkan rasa mual dan gontai bagi pemula. Semua itu dilalui hingga tiba ditujuan pulau-pulau terluar (Jiew, Budd, Fani, Bras-Fanildo) walau hanya 3 pulau berpenduduk saja yang disinggahi.

Di atas adalah kisah betapa panjang dan tidak mudahnya mengunjungi pulau-pulau perbatasan di Bagian Timur Laut wilayah Indonesia, dan dibelahan lain. Namun, semua itu menjadi terbayar ketika sudah mendarat dan tinggal di pulau (Fani dan Bras). Berbaur dengan kondisi serba terbatas (air, listrik, logistik, kesunyian dan seterusnya) yang ada di pulau-pulau, menghentakkan asa dan jiwa seorang peneliti atas betapa saat itu dihadapkan pada kondisi yang serba terbatas di pulau-pulau perbatasan. Terbatasnya mobilitas menuju pulau yang tidak mudah dijangkau (bergantung pada ombak dan kapal perintis) serta naluri hitung atas cadangan logistic (komoditas dan obat-obatan) untuk bertahan saat kapal tidak merapat lantaran musim ombak badai sudah menjadi hal lumrah bagi penduduk pulau. Ritme alam seperti itu sudah menjadi bagian dari siklus kehidupan mereka dari waktu ke waktu.

Bertahan dan berjuang di situasi demikian mencerminkan sisi kehidupan manusia Indonesia di tapal batas laut di PPKT. Tak perlu ditanya “apakah jiwa Merah-Putih tertanam kuat di dada mereka?” karena sejak mulai buka mata dipagi hari, mereka sudah bersapa dengan hamparan ombak, hingga ketika sang mentari pergi, merekapun tetap bersalam pisah dengan ombak samudera untuk menuju keharibaan. Mereka sang penjaga kedaulatan, yang tidak lagi semata direpresentasikan dengan tegaknya tiang Sang Saka Merah Putih, tapi keseharian mereka itulah wujud dari Sang Saka Merah Putih di perbatasan. Dinamika di PPKT menjadi simbol kedaulatan laut Indonesia yang mencerminkan adanya effective administration of the islands Indonesia. Tiada harga yang bisa dibayar karena semua PPKT yang ada di Wilayah Indonesia menjadi “safety belt” bagi Indonesia sebagai Archipelagic State. Bahwa negara kita mayoritas wilayahnya adalah laut yang ditaburi dengan pulau-pulau dari Sabang hingga Merauke. Menurut AB Lapian bahwa Indonesia sebagai archipelagic state adalah negara laut utama yang ditaburi pulau-pulau, dan bukan sebaliknya.

Dengan kesadaran sebagai negara laut sudah selayaknya Indonesia berorientasi pada pembangunan laut/maritim yang menyatukan untaian pulau-pulau yang ada. Untuk itu, dibawah era Jokowi mulai dibangun kekuatan laut dengan rumusan Kebijakan Laut yang dilahirkan dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2017. Kebijakan Kelautan Indonesia ini disusun atas dasar 7 pilar, yaitu 1) Pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; 2) Pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; 3) Tata kelola dan kelembagaan laut; 4) Ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan; 5) Pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut; 6) Budaya bahari; dan 7) Diplomasi maritim. Apapun implementasi kebijakan yang dilakukan, sosok negara harus lebih hadir di PPKT, bukan saja kehadiran sektor pertahanan, melainkan kehadiran negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar secara berkelanjutan (air, listrik, komunikasi) bagi penduduk pulau.

Jika ditanya hal ini pada mereka tentu hanya dijawab dengan ‘senyuman’ penuh makna, dan itu bisa bersifat multitafsir. Namun, apapun kondisi yang ada, mereka hadapi sesuai kemampuan yang disediakan alam. Karena itu tak heran jika mereka memiliki kepercayaan alam yang kuat, berbanding lurus dengan besarnya kecintaan mereka pada pulau tempat tinggal. Eksisnya mereka di pulau perbatasan tak lepas dari laku harmonisasi alam yang terus dijaga. Senyum dalam tangis ataupun tangis dalam senyum sudah berbaur satu, dan kita tak bisa menafsir tegas makna keduanya. Dan itulah perjuangan penduduk di Tapal Batas Laut dengan dinamika social ekonomi sebagai penjaga kedaulatan dan cerminan jiwa Merah Putih dilingkar terdepan.


Awani Irewati adalah peneliti P2P Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta (irewati(at)gmail.com)