REPUBLIKA.CO.ID, Persoalan Papua masih terus bergulir hingga detik ini. Keinginan memerdekakan diri sepertinya sulit diredam oleh pemerintah Indonesia.

Meski sulit, ini bukan berarti pemerintah serta-merta mengabulkan permintaan tersebut. Apalagi jika menilik kembali bagaimana Indonesia berusaha keras merebut Papua dari cengkraman Belanda. Belum lagi, upaya-upaya yang dilakukan Presiden pertama Indonesia, Sukarno di masa itu.

Sukarno dalam ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ memandang Papua sebagai bagian dari tubuh Indonesia. “Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan? Apakah seseorang tidak akan berteriak kesakitan, apabila ujung jarinya dipotong?” tegas Bung Karno.

Begitulah Sukarno bagaimana menempatkan Papua sebagai bagian terpenting di Indonesia. Indonesia tidak akan utuh tanpa Papua di dalamnya. Untuk itu, dia tak tanggung-tanggung dalam memperjuangkan perebutan Papua dari tangan Hindia Belanda.

Kekesalan Sukarno terhadap Belanda tidak lepas dari masalah yang tak terselesaikan pada Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Belanda urung menyerahkan separuh bagian barat dari Pulau Papua kepada Indonesia. Menurut Belanda, rakyat Papua tidak termasuk bagian dari Indonesia, baik secara etnis maupun budaya.

Sukarno jelas mengetahui pasti alasan Belanda begitu keras mempertahankan wilayah Papua bagian Barat. “Lalu Belanda mengapa begitu menginginkannya? Agar memiliki pijakan kaki di Asia. Agar memiliki beberapa sisa-sisa kebesarannya pada waktu dulu. Itu hanya faktor psikologis semata. Kecuali, itu orang Belanda memang kepala batu,” ucap Sukarno.

Sejarawan di Pusat Studi Budaya dan Laman Batas, Universitas Brawijaya (UB) Malang, FX Domini BB Hera mengungkapkan, sikap Belanda terhadap Papua Barat (Irian Barat– di masa lampau) sebenarnya tidak lepas dari kondisi yang mereka alami saat itu. Lepasnya Indonesia sudah menjadi pukulan berat bagi “Negeri Kincir Angin” tersebut. Belanda sudah kehilangan wilayah kekuasaannya yang terbesar di luar Eropa. Apalagi, imperium ini telah berusaha sekuat tenaga mempertahankan wilayah lainnya yang  juga mengalami arus dekolonisasi global.

Tekad Belanda mempertahankan Indonesia terlihat jelas di masa 1945 hingga 1949. Lalu berlanjut pada era Republik Indonesia Serikat (RIS) di 1950. Pada masa-masa ini, Belanda tergambarkan begitu tidak ingin kehilangan Indonesia dalam kekuasaannya.

“Klausul Konferensi Meja Bundar 1949 yang mengizinkan usaha Belanda di Indonesia sepanjang dekade 1950-an menjadi salah satu buktinya,” kata pria yang biasa disapa Sisco ini, kepada Republika.co.id, Kamis (22/8).

Persoalan kekayaan alam yang dimiliki Papua memang selalu menjadi hal yang terus diperbincangkan. Banyak pihak mengira hal ini yang membuat Belanda tak kunjung pergi dari Papua.

Namun bagi Sisco, kekayaan itu sesungguhnya baru diketahui belakangan ini. Artinya, belum diketahui pada era 1940-an. Kekayaan alam di Papua mulai diperbincangkan setelah adanya riset-riset geologis.

“Dan pada kenyataannya, pemerintah kolonial dan Nieuw Hollandia (nama Irian Barat oleh Belanda) tidak melakukan banyak pembangunan infrastruktur fisik. Pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia) juga baru belakangan di bidang birokrasi,” tambah dia.

Lalu bagaimana dengan Sukarno? Apa sebenarnya tujuan pendiri bangsa ini bersikukuh merebut Papua dari Belanda?

Sisco berpendapat, tekad ini dikuatkan atas dasar hasil kesepakatan rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di agenda tersebut telah disepakati semua wilayah bekas jajahan Belanda masuk dalam kedaulatan NKRI. “Bukan karena bekas wilayah Kerajaan Majapahit atau bekas jajahan Jepang,” jelas pria lulusan Universitas Negeri Malang (UM) ini.

Di sisi lain, Sisco tak menampik, Sukarno sudah mengetahui kekayaan alam di Papua. Namun dia justru lebih menitikberatkan pada pembangunan manusianya terlebih dahulu. Hal ini terlihat bagaimana Sukarno menginstruksikan pembentukan Universitas Cendrawasih (Uncen) pada 10 November 1962. Itu artinya, instruksi tersebut terjadi sebelum Irian Barat (nama dahulu) kembali ke pangkuan RI pada 1 Mei 1963 .

“Tanggal-tanggal yang dipilih pun juga penuh simbol 10 November 1962, persis Hari Pahlawan dan 1 Mei 1963 tepat Hari Kemenangan Buruh Sedunia.

Sukarno sengaja mengabadikan momen-momen historis Irian Barat pada peringatan-peringatan hari berserajarah tersebut,” jelasnya.

Cara Sukarno merebut Papua

Selain diplomasi, Sukarno dan Belanda sama-sama melakukan cara militer dalam memperebutkan Papua. Terbukti, bagaimana Indonesia harus kehilangan Pahlawan Yos Sudarso di Laut Arafuru.

Sementara dalam merebut hati masyarakat setempat, Sukarno memiliki cara sama pada umumnya. Dia menerapkan rasa keindonesiaan pada penduduk Papua. Pun, juga dilakukan terhadap masyarakat wilayah lainnya di Indonesia.

Pada awal Mei 1963, Sukarno sempat melakukan kunjungan pertama dan terakhirnya di Papua. Dia juga mengajak pihak lainnya termasuk Gubernur Aceh, Ali Hasjmy. Pada masa tersebut, Sukarno memperkenalkan Gubenur Aceh dan Gubernur Irian Barat, Elias Jan Bonay di hadapan masyarakat.

Selain itu, Sukarno pernah mengusulkan agar mahasiswa Uncen bisa belajar di Aceh. Begitu pula sebaliknya dalam program pertukaran mahasiswa. “Berikut lainnya mahasiswa dan kampus-kampus lain dari maupun ke Irian Barat,” jelasnya.

Upaya-upaya ini yang sesungguhnya menjadi bagian proses keindonesiaan yang hendak diciptakan oleh Sukarno. Dia ingin para tunas mudanya memiliki pengalaman menjadi “manusia Indonesia”. Namun ide-ide ini hilang setelah terjadi Gerakan Satu Oktober 1965.

“Penganti Sukarno dan rezimnya berlaku sungguh berbeda memperlakukan Irian Barat,” jelas pria yang pernah aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tersebut.

Menilik perjuangan dan sikap Sukarno, maka akan banyak yang perlu dipelajari masyarakat dan pemerintah saat ini. Sentimen masalah Papua sepertinya belum terintegrasi dengan Sejarah Indonesia. Pandangan ini perlu didorong melalui penelitian lebih lanjut terkait awal nasionalisme Indonesia di tanah Papua.

Sisco mencontohkan bagaimana kisah di Manokwari dan Boven Digul harus dibuka secara jelas dalam Sejarah Indonesia. Pasalnya, wilayah tersebut dikenal sebagai tanah pengasingan kaum nasionalis kiri di masa pergerakan nasional. Sayangnya, pemerintahan orde baru seperti tidak ingin memberikan pembahasan lebih banyak ihwal para Digulis sekaligus Pahlawan Perintis Kemerdekaan tersebut.

“Padahal tidak sedikit mentor politik Pahlawan Nasional RI asal Papua seperti Frans Kaisiepo yang kini ada di uang kertas Rp 10.000 memiliki guru politik seorang Digulis. Juga, tidak ada museum yang proporsional di Digul, meski Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir pernah diasingkan di sana,” katanya.

Negeri yang mengklaim diri sebagai anti kiri dengan TAP MPR 1966 ini sepertinya ragu dalam menyikapi sejarah Digul. Tidak hanya itu, juga terhadap Pahlawan Perintis Kemerdekaan dan sejarah Papua. Untuk itu, Sisco menyarankan, penelitian sejarah Papua Indonesia perlu dibuka (Republika: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto).

Teks Sumber