Oleh PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI –

Selama ini, kita memahami kepercayaan dalam agama dan adat yang ada di masyarakat sebagai suatu hal yang ‘tinggi’ dan tak tersentuh. Marvin Harris, seorang antropolog Amerika melalui karyanya yang kontroversial berjudul “Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir” membedah keyakinan manusia tehadap berbagai macam dogma dan kepercayaan dengan sudut pandang materialistis.

“…kepercayaan dan praktik-praktik yang terlihat paling aneh sekalipun ternyata-melalui pengamatan yang lebih cermat-dipijakkan pada kondisi, kebutuhan, dan aktivitas yang biasa, banal, bahkan bisa dibilang vulgar.”

Dalam bukunya, ia menjelaskan alasan pemeluk Hindu mengagungkan sapi, alasan pemeluk Islam dan Yahudi tidak memakan babi dan sebaliknya orang Maring seakan tidak dapat hidup tanpa babi, alasan begitu banyak orang di abad pertengahan percaya penyihir, dan alasan kembali hadirnya sihir dalam kebudayaan populer kita sekarang. Namun demikian, tulisan ini hanya akan mengulas salah satu pembahasan dalam buku Marvin Harris, yaitu tentang sapi di mata pemeluk Hindu.

Sapi betina memiliki makna yang agung dalam kepercayaan Hindu, terutama di india. Sapi betina bagi pemeluk Hindu merupakan lambang dari segala yang hidup. Pemujaan terhadap sapi dikatakan oleh Harris sama halnya dengan Maria bagi umat Kristiani. Harris menuliskan bahwa jika Maria bagi umat Kristiani adalah bunda Tuhan, sapi bagi orang Hindu adalah bunda kehidupan. Begitulah Harris mengumpamakan sebagai gambaran keberhargaan sapi betina bagi pemeluk Hindu di India.

Begitu besarnya makna sapi bagi pemeluk Hindu di India, sering terjadi konflik antara pemeluk Hindu dengan kelompok lain. Sebelum anak benua India terpisah menjadi India dan Pakistan, kerusuhan massal berdarah untuk mencegah pemeluk Islam membunuh sapi menjadi peristiwa tahunan. Kerusuhan yang menyertai aksi penentangan terhadap penyembelihan sapi juga dicatat Harris terjadi pada 7 November 1966 hingga menewaskan delapan orang. Gelombang protes terhadap upaya penyembelihan sapi dan mendesak pelarangan total atas penyembelihannya adalah permintaan yang selalu digaungkan pengagung sapi. Sapi menjelma menjadi pengendali tindakan pemeluknya.

Selain berbagai kerusuhan yang merenggut nyawa, kecintaan pemeluk Hindu terhadap sapi juga dianggap oleh beberapa pakar menjadi penyebab utama kelaparan dan kemiskinan di India. Beberapa ahli agronomi didikan Barat berpandangan bahwa tabu menyembelih sapi membuat seratus hewan “mubazir” itu hidup. Mereka mengklaim bahwa pemujaan sapi menurunkan efisiensi pertanian karena hewan yang mubazir itu tidak menyumbangkan susu maupun daging, padahal ikut berebut lahan dan pangan dengan hewan yang berguna dan manusia yang kelaparan. Pakar lain dari University of Pennsylvania menyatakan pada 1971 bahwa India memiliki 30 juta ekor sapi yang tidak produktif.

Hal ini bukan tanpa dasar. Ketika kita mengunjungi India, kita akan melihat bagaimana sapi-sapi betina keluyuran di jalanan dan buang kotoran di sembarang tempat. Adapun sapi betina di wilayah pedesaan diceritakan Harris berkumpul di bahu jalan tiap jalan besar dan menghabiskan waktu dengan melenggang santai di jalur rel kereta api. Lebih menakjubkan lagi, badan-badan pemerintah dikatakan Harris membuka penampungan rumah-rumah jompo bagi sapi di mana para pemiliknya bisa menempatkan binatang mereka yang tua renta, tanpa biaya. Sapi yang dipelihara nyaris tanpa biaya memberi pakan -karena mereka secara mandiri mencari makan di jalanan, pasar-pasar, dan kebun-kebun- ini juga tak banyak menghasilkan susu. Setiap tahun setidaknya sekitar sepuluh sapi zebu di India tidak menghasilkan susu sama sekali. Dengan demikian, kecintaan sapi menurut pakar Barat terlihat begitu tidak efisien dan mubazir.

Namun jika ditelisik lebih dalam, menurut Harris, gaya hidup ‘mengagungkan sapi’ tidak sepenuhnya merugikan. Sebaliknya, Harris menuliskan bahwa pemeluk Hindu memanfaaatkan sapi secara lebih efisien dan utilitarian dari orang Barat. Harris mengutip perkataan Odend’hal, salah satu peneliti pemeluk Hindu di India, bahwa relatif tingginya efisiensi ternak India terbentuk bukan karena binatang-binatangnya produktif, melainkan karena pemanfaatan produk yang sangat saksama oleh manusia.

Semua bagian sapi dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh petani pemeluk Hindu. Setiap onggok kotoran sapi dikumpulkan secara cermat mengingat banyaknya kegunaan yang didapat. Harris menuliskan, ternak di India per tahun menghasilkan sekitar 700 juta ton kotoran terdaur ulang. Setengah dari jumlah tersebut digunakan sebagai pupuk kandang, sementara sebagian besar sisanya dibakar sebagai pemanas untuk memasak. Per tahun, jumlah panas yang dilepaskan oleh kotoran ini setara dengan 27 juta ton minyak tanah, 35 juta ton batubara, atau 68 juta ton kayu bakar.

Selain pemanfaatan energi yang mengagumkan dari kotoran sapi, sapi ternyata masih bisa menjadi harapan saat ekonomi sulit. Harris mencontohkan terjadinya fase ekonomi sulit bagi petani miskin pemilik sapi betina. Pakar Barat menilai bahwa solusi terbaik dari masalah ini adalah dengan menyembelih sapi. Dengan demikian petani sapi dapat menjual sapinya dan mendapatkan uang dari hasil menyembelih dan menjual sapi. Masalah selesai.

Namun ternyata pemeluk Hindu memiliki solusi yang sifatnya jangka panjang dan itu akan lebih menyelamatkan hidupnya ketimbang perbuatan menyembelih sapi (solusi jangka pendek yang disertai dosa). Diketahui bahwa sapi zebu memiliki daya pulih yang besar. Jika ia menjual sapinya, mungkin ia tidak kelaparan lagi saat itu, tapi setelahnya, kiamat menanti keluarga petani miskin karena tak ada lagi yang mereka miliki. Sebaliknya apabila mereka mempertahankan sapi betina mereka yang memiliki daya pulih tinggi, mereka masih punya harapan dapat memeroleh hasil. Masih ada harapan sapi akan menggemuk, beranak, dan mulai menyusui lagi sehingga mereka dapat kembali berjualan susu. Lagi pula, mereka selalu membutuhkan kotoran sapi untuk aktivitas dapur mereka.

Analisis di atas cukup bagi Harris untuk membuktikan bahwa ada jawaban konkrit, sederhana, dan bersifat keseharian, untuk menjawab pertanyaan “Mengapa Pemeluk Hindu mengagungkan sapi?’. Dengan kata lain, pengagungan sapi adalah perkara ‘perut’.

Untuk semakin menguatkan pendapat bahwa sapi betina dipertahankan pemeluk Hindu lebih karena manfaat kesehariannya, Harris kemudian mengamati proporsi sapi betina dibandingkan sapi pejantan. Nyatanya, proporsi sapi betina dan pejantan lebih tepat diamati dengan latar belakang kejadian hujan, angin, dan pola pemilikan tanah dibandingkan dengan alasan kecintaan akan sapi. Terbukti di daerah dekat sungai Gangga yang dikenal sebagai pusat lokasi agama Hindu, proporsi sapi betina dibandingkan sapi jantan anjlok hingga 47 banding 100. Diketahui bahwa untuk membajak sawah, orang India lebih senang mempekerjakan kerbau daripada sapi. Itulah sebabnya mengapa di daerah subur dekat sungai Gangga, proporsi sapi betina tidak besar, bahkan anjlok.

Usaha Harris mengkonkritkan alasan pemujaan terhadap sapi betina bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Harris cukup cermat membandingkan, menghitung, kemudian menjawab teka-teki pemujaan sapi dikaitkan dengan kondisi nyata di lapang.

Namun demikian, penjelasan Harris tetap tidak dapat menjawab pertanyaan,

“Mengapa pemeluk Hindu di India mengagungkan sapi?”

Karena jika jawabannya hanya soal ‘perut’, sapi tidaklah menjadi istimewa. Toh, banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk sekedar ‘mengisi perut’. Umat Hindu di India akan dengan mudah meninggalkan sapi jika pemujaan terhadap sapi berlatar belakang sebatas ‘perut’. Pertanyaan mengapa sapi? Mengapa bukan yang lain? seharusnya dijelaskan oleh Marvin Harris untuk memperkuat analisisnya.

Pertanyaan yang tepat barangkali adalah,

“Mengapa pemeluk Hindu di India masih mengagungkan sapi?”

 Umat Hindu di India masih mengagungkan sapi karena mereka masih dapat beradaptasi dengan dogma pemujaan sapi. Dengan keterbatasan potensi sapi yang dimiliki, mereka masih bisa mempertahankan diri. Keyakinan disambut dengan cara adaptasi yang baik membuat mereka tetap bertahan mengagungkan sapi. Jika sapi tak lagi memberi keuntungan sedikitpun, masih ada dua kemungkinan tindakan yang dilakukan umat Hindu, meninggalkan sapi atau tetap bertahan meninggikan dan memuja sapi. Keputusan yang sulit ditebak.


Putri Nadiyatul Firdausi adalah alumnus Universitas Brawijaya Malang, Program Magister Sosiologi. Saat ini dia menjadi dosen di Lumajang, Jawa Timur.