oleh Irin Oktafiani
Orang Indonesia yang dibayangkan dalam buku-buku pelajaran masa Orde Baru adalah orang yang ramah dimana pun mereka berada. Keramahan yang menjadi salah satu ciri orang Indonesia ini adalah sesuatu yang entah berusaha dibentuk atau memang terbentuk sebagai ciri khas. Dalam sebuah nyanyian anak-anak ada sebuah lirik yang menyatakan orang Indonesia lucu-lucu dengan beragam budayanya. Namun, apakah ciri tersebut memang sebuah kenyataan yang lumrah kita temui bahkan dalam dunia digital yang tengah berkembang saat ini?
Mari kita membayangkan mengenai dunia digital yang berisikan masyarakat yang beragam dari manca negara. Di ruang digital semua orang dapat ‘bertemu’, bercengkerama, atau sekadar mengeluarkan pendapatnya. Seolah-olah tidak ada batasan jarak. Pendapat yang dikeluarkan pun beragam mulai dari yang sifatnya edukasi sampai hal-hal yang tidak perlu diungkapkan. Bayangan dunia digital paling menarik yang pernah saya lihat ada di dalam film Ralph Breaks The Internet. Di dalam film ini, internet divisualisasikan seperti kota super canggih yang berisikan beragam aktivitas. Ada kelompok-kelompok warga juga di dalamnya, mulai dari kelas bawah sampai kepada kelas atas. Apakah hal ini dapat dijadikan representasi bagi suatu komunitas atau bahkan negara? Jawabannya tergantung konteks dan sudut pandang yang dipakai. Namun, fenomena dunia digital menarik karena jelas kekuatannya telah membawa pengaruh dalam banyak lini kehidupan, salah satu yang terdampak adalah bidang ekonomi. Perkembangan e-commerce mempermudah transaksi jual beli seakan tidak berjarak. Perkembangan teknologi komunikasi dalam dunia digital juga membuat semua informasi mudah diakses dalam hitungan detik dan disebarkan dengan cepat, salah satunya melalui media sosial.
Twitter, selebtwit dan penghimpun masa virtual
Twitter merupakan salah satu platform media sosial yang banyak digunakan. Menurut data yang oleh laman websindo, jumlah pengguna twitter aktif di Indonesia per Januari 2019 mencapai 6,43 juta akun. Dengan jumlah pengguna sebanyak ini, tentu saja twitter menjelma sebagai ruang sosial baru yang eksistensinya diperhitungkan. Setiap pengguna dapat menuliskan apapun yang ada di kepalanya kapanpun dan dimanapun dalam 160 karakter atau lebih yang berisikan berita berupa teks dan juga gambar.
Cara bermain twitter sederhana, sebuah akun yang sudah dibuat berhak mengikuti akun lain yang ingin ia ikuti. Akun-akun yang memiliki follower banyak dan dianggap oleh twitter memenuhi keinginan publik akan diberikan tanda lencana verifikasi. Orang-orang ini dapat berasal dari figur publik yang memang sudah terkenal di dunia nyata maupun yang hanya terkenal di media sosial. Orang-orang yang terkenal karena cuitannya di twitter akan disebut sebagai selebtwit, sebut saja akun @mentimoen atau @ivanlanin. Selebtwit ini biasanya akan berakhir menjadi publik figur dan terkenal di dunia nyata. Selain selebtwit ada pula yang diberi label sebagai social justice warior (SJW) oleh pengguna twitter lain karena dianggap sebagai orang-orang yang berjuang demi keadilan sosial. Para ‘SJW’ biasanya berusaha atau secara tidak langsung dapat menghimpun opini publik atau sekadar memberikan edukasi kepada para pengikutnya. Dunia twitter juga memiliki buzzer, yaitu akun-akun berbayar yang secara sengaja menggiring opini publik ke sisi tertentu.
Twitter kini menjadi ruang yang menyediakan kenyamanan dalam berpendapat dan berbagi informasi. Sayangnya, hal ini juga menjadikan twitter sebagai rumah yang nyaman bagi ujaran kebencian. Masih segar dalam ingatan bagaimana ramainya dunia twitter Indonesia dari mulai masa kampanye sampai hari pemilu Serentak di 2019 bahkan setelahnya. Terdapat dua golongan pendukung presiden yang masing-masing menyematkan panggilan “sayang” cebong dan kampret satu sama lain. Para pendukung kedua kubu berlomba-lomba menuliskan ujaran-ujaran untuk mendukung idolanya sekaligus menjatuhkan lawannya.
Di sisi lain, kemampuan twitter untuk menghimpun massa virtual juga dimanfaatkan untuk membantu orang yang kesusahan. Dengan mengucap mantra “Twitter, please do your magic” seorang pengguna dapat menghimpun dana untuk membantu seseorang yang kesusahan, entah itu membantu melariskan dagangan sate seorang kakek tua atau membantu biaya operasi supir ojek online yang kecelakaan. Seringkali, twitter bisa melakukan keajaibannya. Dana bisa terkumpul dengan cepat untuk membantu orang yang kesusahan tersebut. Selain itu, twitter juga bisa menghimpun rasa penasaran orang untuk mencoba produk tertentu, sebut saja akun @drhaltekehalte yang sukses melariskan jajanan yang ada di sekitar halte atau stasiun di Jabodetabek.
Identitas imajiner
Hal yang menarik dan berbanding terbalik dalam dunia twitter adalah penggunanya yang merasa lebih miskin dan kesepian, tetapi memiliki candaan yang orisinil (baca: ekonomis) dibandingkan dengan pengguna media sosial lain, misalnya instagram. Pengguna twitter akan membandingkan diri mereka dalam posisi merendah dibandingkan dengan seorang selebriti di Instagram. Kata-kata yang dikeluarkan pun beragam namun serupa, mencerminkan ‘kemiskinan’, seperti “jiwa miskinku berteriak” atau “Apalah gue yang cuman bisa begini…”. Kemudian candaan yang dikeluarkan di twitter juga seputar kegiatan jomlo di malam minggu dan ajaibnya banyak orang yang merasakan hal sama dan kemudian berkomentar mengenai kesedihannya dalam bahasa yang lucu. Kebersamaan yang terbentuk di jagad twitter ini merupakan identitas imajiner pemersatu akun-akun yang mungkin di dunia nyata tidak saling mengenal.
Identitas imajiner ini juga yang sempat membuat heboh jagad twitter saat akun @attahalilintar masuk ke twitter, dalam waktu singkat muncul tagar #atta yang diikuti cuitan agar youtuber tersebut keluar dari twitter. Warga twitter menganggap Atta tidak cocok dalam jagad twitter. Identitas imajiner inilah yang membuat seakan-akan penolakan terhadap Atta adalah hal yang lumrah dan diinginkan semua orang, meskipun ada juga yang menerima kehadirannya. Kemampuan twitter dalam menyatukan identitas dalam ruang virtual seakan-akan adalah kenyataan.
Orang Indonesia dalam twitter
Jadi apakah masih relevan anggapan bahwa orang Indonesia ramah dan murah senyum jika dilihat melalui aktivitas di Twitter? Jawabannya adalah masih. Setidaknya, twitter telah berhasil menjadi ruang ekspresi dan representasi orang Indonesia yang menanggapi banyak hal dengan santai dan seakan ber‘kepala dingin’. Banyak pengguna twitter yang menertawakan kehidupan melalui berbagi candaan di sana. Twitter ada sebagai media yang hadir untuk menyembunyikan fakta melalui kata-kata humor dan kesenangan. Para pengguna juga merasa memiliki identitas yang sama melalui pilihan-pilihan kata yang mencerminkan ‘kemiskinan’ (atau kesederhanaan?).
Identitas imajiner melalui twitter hadir melalui rangkaian kata yang seolah mencerminkan kehidupan santai yang diidamkan oleh orang Indonesia. Kehidupan santai tersebut kenyataannya bukanlah suatu hal yang dengan mudah didapatkan pada realita masyarakat Indonesia saat ini. Semua orang berpacu dalam kecepatan teknologi dan berlomba untuk menunjukkan eksistensi mereka di tengah kesibukan dan aktivitas mereka.
Kemunculan selebtwit dan buzzer juga menjadi bukti bahwa menjadi terkenal, walaupun sebatas di ruang maya menjadi hal yang menguntungkan. Pembuktian eksistensi seseorang diakui lewat banyaknya pengikut dan berapa kali suatu hal diretweet atau disukai (baca: loved). Twitter hadir sebagai ruangan dengan sekat maya dalam beropini, sekaligus menjadi ruang pemersatu apabila memiliki ketertarikan yang sama. Di sinilah imaji orang Indonesia muncul, sosok ramah, murah senyum yang merindukan hidup santai. Akhir kata semoga “Rame banget nih, gak ada yang mau mutualan apa?”.
Irin Oktafiani adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) – Jakarta.