Oleh Anton Novenanto

“What we call ‘the cultural turn’ was beginning; that’s really what was happening here.” – Stuart Hall

Sudah cukup lama saya berkutat pada sebuah pertanyaan pendek tapi tak mudah untuk mendapatkan jawaban ringkasnya: Bagaimana mengenalkan “kajian budaya” sebagai salah satu jenis penelitian yang dapat dilakukan mahasiswa dan/atau pemelajar ilmu sosial di Indonesia?

Seperti telah dijelaskan Ariel Heryanto, kajian-kajian budaya muncul dan berkembang dalam pelbagai variannya akibat kegamangan pelembagaan disiplin ilmu sosial-humaniora di kampus-kampus Indonesia.[1] Seperti di negara-negara Asia Tenggara lain, menurut Heryanto, watak laku ilmu dan ilmuwan sosial-humaniora di Indonesia tidak banyak berubah pasca kemerdekaan. Ilmu sosial-humaniora berfungsi penting sebagai instrumen kunci bagi proyek membangun nasionalisme dan modernisasi. Salah satu yang telah banyak dikritik adalah perkembangan dan pengajaran sosiologi di kampus-kampus ternama di Indonesia yang dikritisi sebagai menjadi bagian dari rekayasa sosial-budaya yang mendukung proyek “pembangunan nasional”, sebagai landasan legitimasi bagi berkembang-biaknya pandangan fungsionalisme Parsonian yang tak lebih dari usaha reproduksi kultur kelas menengah kapitalis industrial.[2] Ukuran keberhasilan seorang ilmuwan sosial-humaniora di Indonesia adalah bila mereka akhirnya diangkat menjadi staf ahli atau staf khusus di lembaga negara, apalagi di tingkat nasional, untuk turut menentukan arah kebijakan publik di republik ini.

Ini yang membedakan dengan para intelektual di negara-negara Barat yang cenderung enggan untuk terlibat dalam dunia politik praktis semacam itu dan lebih memilih bertapa untuk bekerja pada disiplin yang digelutinya (atau sedang dikritiknya). Di Indonesia, pelembagaan ilmu sosial-humaniora harus bersaing dengan godaan menjadi intelektual publik sebagai bentuk pemenuhan “panggilan” memperbaiki bangsa.[3] Dan begitulah nasib kajian budaya di Indonesia, diterima oleh para pembelajarnya dalam atmosfer dan infrastruktur akademis yang lemah dalam memperjuangkan disiplin keilmuwannya dan lebih tertarik pada kegiatan aktivisme. Fakta ini beriringan dengan lemahnya kapasitas para intelektual itu dalam menguasai Bahasa Inggris, dan pengetahuan yang mumpuni dalam memahami konteks historis kajian Sastra Inggris (English literature) yang menjadi latar belakang kelahiran dan perkembangan kajian budaya yang kita kenal saat ini.

Kita perlu membedakan penyebutan istilah “kajian budaya” dan “Cultural Studies”. Istilah yang terakhir ini mengacu pada nama atau label yang melekat kuat sehingga sulit dilepaskan dari keberadaan Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas Birmingham, Inggris yang sejarahnya diurai secara singkat pada bagian ini. Sementara itu, istilah “kajian budaya” digunakan dalam definisi luas tentang penelitian-penelitian kritis atas budaya yang berbeda dari disiplin mapan lainnya seperti antropologi dan sosiologi budaya. Watak khas kajian budaya yang kita kenal sekarang, semangat anti-kemapanan untuk menjadi disiplin ilmu, adalah warisan penting dari CCCS, Birmingham. Oleh karenanya, jika kita berbicara tentang kajian budaya saat ini maka kita tidak bisa melepaskan diri dari sebuah fakta tentang keberadaan tradisi berpikir yang dirintis dan dikembangkan oleh para eksponen CCCS, atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Birmingham School.

CCCS

Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) didirikan seorang guru besar di bidang Sastra Inggris di Universitas Birmingham bernama Richard Hoggart pada 1962. Hoggart mendapat dana tahunan sebesar £2.400 yang didapatkannya dari Sir Allan Lane, pendiri Penguin Books. Dengan dana yang ada waktu itu, Hoggart selaku direktur pertama CCCS memiliki cukup dana untuk membeli buku, mengundang pembicara memberi seminar, membayar seorang sekretaris untuk urusan administrasi, dan seorang peneliti bernama Stuart Hall.[4]

Belakangan Hoggart mendapatkan dana tambahan dari penerbit Chatto dan suratkabar The Observer. Dengan dana yang terkumpul itu, CCCS resmi dibuka untuk menerima mahasiswa doktoral pada musim gugur 1964.  Program itu berjalan tanpa dana rutin dari pengelola kampus. Mahasiswa melakukan penelitian dengan biaya sendiri. Banyak di antara mereka yang mengandalkan beasiswa dari pemerintah ataupun dari sponsor lain.

Semangat independensi dari kampus semacam itu membuat CCCS harus mengalami beberapa kali restrukturisasi akibat perubahan struktur dan sistem pendidikan tinggi di Inggris sebelum akhirnya betul-betul ditutup pada 2002.[5] “Birmingham School”, begitulah tradisi intelektual ini sekarang dikenal, berdiri hampir 40 tahun dan menjadi salah satu pusat perkembangan kajian kritis atas budaya, sampai-sampai kita tidak bisa melepaskan atribusi “Cultural Studies” yang telanjur melekat padanya. Pada tahun 2014, Universitas Birmingham menggelar sebuah konferensi bertajuk “Cultural Studies 50 Years On” sebagai kegiatan untuk memperingati 50 tahun berdirinya Birmingham School. Konferensi itu juga sebuah penanda bahwa warisan intelektual tradisi Birmingham telah begitu kuat mewarnai perkembangan kajian budaya tak hanya di Inggris, tapi juga di seluruh dunia.[6]

Latar belakang Hoggart di bidang Sastra Inggris sangat mewarnai pembentukan ciri khas intelektual awal Birmingham School.[7] Dia berangkat dari pengaruh dan kritiknya atas pemikiran Frank Raymond Leavis yang melihat “budaya massa” (mass culture) sebagai sesuatu yang merusak keberadaan “budaya tinggi” (high culture). Yang dimaksudkan Leavis dengan “budaya tinggi” adalah karya-karya klasik yang adalah buah dari kerja aestetik dan bukan sekadar hasil dari memanfaatkan waktu luang belaka. Pemisahan budaya massa dari budaya tinggi adalah sasaran kritik utama para pendiri Birmingham School dengan mengadopsi pandangan budaya-sebagai-praktik sosial yang dimunculkan salah satunya oleh Raymond Williams.

Dari Williams, Birmingham School belajar tentang bagaimana tradisi Marxis juga dapat berguna untuk melakukan analisis terhadap budaya. “Budaya” kemudian dipahami sebagai “keseluruhan gaya hidup, sebuah proses sosial yang umum”, khususnya kelas pekerja.[8] Williams menekankan bahwa konsep “sistem kehidupan ekonomi” (system of economic life) perlu didahulukan daripada konsep “moda produksi” (mode of production). Kritik budaya Marxis semacam itu diarahkan Williams pada kegagalan para ahli sastra Inggris untuk menjelaskan hubungan interseksi antara kritik sastra romantisisme Inggris, teori Marxis, dan keanggotaan Partai Komunis.

Memadukan metode “pembacaan cermat” (close reading) yang menjadi cirikhas analisis sastra ala Leavis dan pandangan budaya-sebagai-praktik sosial dari Williams, Hoggart merintis tradisi awal kajian budaya di Birmingham. Pada tahun-tahun pertamanya, CCCS secara implisit menawarkan sebuah “metodologi” dalam melakukan penelitian ke dalam tiga bagian: 1) penafsiran atau pembacaan kritis atas teks; 2) penelusuran tentang dampaknya pada sekelompok khalayak; dan, 3) analisis pada konteks sosial dan relevansi kultural dari relasi tersebut.[9] Hoggart melihat beberapa tema yang potensial dikerjakan CCCS, antara lain penelitian tentang kehidupan penulis dan seniman, penelitian respons khalayak, penelitian pembentukan opini publik, dan penelitian tentang industri budaya (atau lembaga-lembaga yang berperan dalam mendistribusikan tulisan dan wacana).[10] Sebagai upaya memperluas cakrawala kajiannya, CCCS menggelar seminar setiap Selasa dan kerap mengundang dari mereka yang tidak punya latar akademis tapi sangat berpengalaman dalam wilayah-wilayah khusus dalam budaya populer. Beberapa nama yang diundang, antara lain: George Melly (kritikus Jazz), Spencer Davis (dari band R&B Spencer Davis Group), Jon English (pendiri Cannon Hill Arts Collective), dan Charles Parker (produser BBC).[11]

Birmingham School menekankan pada pendekatan interdisiplin, beberapa bahkan melihatnya sebagai “anti-disiplin”.[12] Pusat perhatiannya adalah pada “analisis kegentingan” (conjuntural analysis) dalam rangka memahami dinamika dan karakter kekuasaan dari sebuah peristiwa tertentu.[13] Pendekatan ini berakar dari gagasan Antonio Gramsci yang melihat pada “peristiwa genting” (the conjunture) untuk bisa memahami secara deskriptif tentang kekuatan-kekuatan ekonomi, politik, dan budaya yang bekerja spesifik pada suatu peristiwa, pemicu perubahan hubungan-hubungan kekuasaan jangka pendek dan jangka panjang tampak, dan sebuah ruang perjuangan politik dan budaya.[14] Kajian budaya dibutuhkan ketika terlalu banyak informasi yang membuat kita bahkan tidak bisa secara jeli melihat apa yang sedang terjadi.[15] Peristiwa-peristiwa genting, dalam bahasa filsuf Jerman Martin Heidegger, menandai sebuah momentum pergerakan dari yang konkret menuju yang abstrak; dari ontis ke ontologis.[16] Begitulah, di awal pendiriannya Birmingham School lebih menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa genting dan sangat terbuka terhadap ragam penafsiran sehingga seolah-olah berjalan tanpa landasan teoretis yang baku.

Pelembagaan kerangka teoretis di CCCS baru mulai kentara saat Alan Shuttleworth bergabung pada 1966.[17] Stuart Hall mengenal Shuttleworth sebagai pengelola jurnal mahasiswa, New University. Hall tertarik dengan latar belakang pendidikannya di bidang politik dan ekonomi dari Oxford University yang membaca karya-karya Talcott Parsons dan Max Weber sebagai bagian dari kuliah pasca-sarjana sosiologi di Birmingham untuk meneliti kehidupan komunitas miskin imigran India. (Dalam kehidupan luar kampus, keluarga Hall sudah menganggap Shuttleworth sebagai satu anggota keluarga mereka.)

Shuttleworth melihat kesamaan antara tradisi kritik sastra Leavisisme yang diadopsi CCCS dengan kritik idealisme Jerman terhadap positivisme, secara khusus dalam karya-karya Weber. Kedua tradisi tersebut mengakui sebuah konsepsi manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai mahluk ekspresif dan evaluatif yang menganggap bahwa dalam setiap tindakan manusia menubuh makna-makna dan nilai-nilai subjektif. Shuttleworth pun menelusuri lebih jauh tentang keterhubungan antara makna subjektif, hubungan sosial objektif, tindakan individual, dan gerakan sosial. Hal ini membuat kajian-kajian CCCS pada kurun 1966-67 cukup dekat dengan perspektif “konstruksi sosial atas realitas” dari Peter Berger dan Thomas Luckmann yang mengacu pada tradisi sosiologi fenomenologis Alfred Schutz. Dalam cara berpikir semacam ini, tindakan-tindakan bermakna dari para aktor yang hidup dalam dunia sosial yang sama diwujudkan, diobjektivasi, dalam artefak budaya berbentuk tingkah laku dan interaksi sosial.

1968

Tahun 1968 adalah tahun kritis bagi CCCS, dan dunia intelektual pada umumnya.[18] Pada tahun itu, ada gelombang protes mahasiswa bergulir. Tidak hanya di Birmingham, tapi juga di kampus-kampus di Amerika Serikat. Beberapa tema yang diangkat, antara lain: gerakan anti-nuklir, aksi anti perang, gerakan feminisme, dan gerakan lingkunganisme global. Aksi-aksi tersebut menandai kemunculan sebuah gerakan baru yang dinamai New Left (Kiri Baru) untuk menentang kapitalisme, rasisme, seksisme, dan tentu saja perang. Di Amerika Serikat, gerakan New Left bergerak beriringan dengan gerakan Black Power (Kekuatan Kulit Hitam) yang memperjuangkan reformasi pendidikan, perbaikan ekonomi, dan menentang diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam. Represi aparatus negara terhadap para aktivis terus meningkat.

Dalam situasi politik internasional yang genting semacam ini, Hoggart mendapatkan posisi di kantor UNESCO di Paris, Prancis. Stuart Hall mengisi posisi itu dan CCCS semakin dikenal publik internasional. Hall adalah satu dari empat editor New Left Review, sebuah media penting bagi penyebaran gagasan-gagasan radikal di kalangan intelektual secara global. Bersama Martin Jacques, Hall menulis, “melalui budaya radikalisme politik digerakkan dan disalurkan. 1968 adalah tahun kelahiran gagasan tentang politik budaya sebagai pusat dari segala strategi hegemoni.”[19] Seorang mahasiswa, bahkan, mengenang Hall bukan sebagai seorang profesor tapi lebih sebagai seorang sosok revolusioner dan radikal yang sedang berorasi di depan mahasiswa.[20]

Pada 1970, CCCS mulai menggelar Seminar Teori Umum (General Theory Seminar) yang menandai ketertarikan baru pada strukturalisme. Ini dilakukan untuk menambah kekayaan dalam melakukan kajian terhadap budaya dari pendekatan Hoggartian, Marxisme, dan sosiologi tindakan bermakna serta membangun jembatan antara strukturalisme dan humanisme, struktur dan agensi, teori dan praktik. Selama dua tahun, CCCS menelusuri relevansi gagasan Roland Barthes, Claude Levi-Strauss, dan Ferdinand de Saussure pada kajian budaya.

Semangat keterbukaan terhadap ragam pendekatan semacam ini tidak hanya terjadi di Birmingham saja, tapi juga kecenderungan umum para intelektual Inggris pasca 1968.[21] Pada masa itu, naskah-naskah kunci tentang teori sosial dalam bahasa Jerman, Prancis dan Italia mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh dua penerbit penting: New Left Books dan Verso. Ketersediaan naskah-naskah penting dari Georg Lukacs, Jean Paul Sartre, Mahzab Frankfurt, Merleau-Ponty, Roland Barthes, Louis Althusser, Antonio Gramsci, Julia Kristeva, Jacques Lacan, Gaston Bachelard, Jacques Derrida, dan tentu saja Michel Foucault dalam Bahasa Inggris mengubah konstelasi sejarah pemikiran dan intelektual tidak hanya di Inggris, tapi di seluruh dunia.

Keterlibatan Hall dalam gerakan New Left juga turut menentukan posisi politis CCCS di Inggris. Peran tersebut mendapatkan reaksi dari intelektual sayap Kanan di Inggris. Pada September 1977, misalnya, CCCS menggelar sebuah konferensi berjudul “Left Intelectual Work” (Kerja Intelektual Kiri) yang dihadiri oleh ratusan peserta. Guru besar sosiologi dan juga pendukung sayap Kanan Inggris Julius Gould menyebut kegiatan tersebut sebagai ancaman serius terhadap kehidupan akademis di Birmingham dan juga di seluruh Inggris.[22] Kritik Gould disampaikan melalui buku The Attact on Higher Education yang di dalamnya dia menyebutkan secara spesifik nama-nama anggota gerakan New Left (termasuk Hall) dan beberapa jurnal dan penerbitan (termasuk Penguin dan Macmillan) yang menurutnya telah sengaja menerbitkan bacaan-bacaan tentang Marxisme dan radikalisme.

Serangan-serangan personal yang dilancarkan Gould memicu reaksi dari kalangan intelektual. Dia pun memilih untuk melepaskan keanggotaannya dari British Sociological Association daripada harus menghadapi sidang etika. Pada satu sisi, kritik Gould tersebut menandai betapa penting dan berpengaruhnya CCCS secara politis dalam kehidupan akademia di Inggris sehingga perlu dianggap sebagai ancaman. Namun, pada sisi lain, tuduhan itu juga yang semakin memperkuat label “gerakan Kiri sebagai sumber masalah” yang diberikan para ilmuwan moderat pada Birmingham School—bahkan ketika dia sudah berubah nama dan akhirnya ditutup.

Pada 1979, Stuart Hall meninggalkan CCCS demi mengisi posisi gurubesar sosiologi di Open University. Dia bertahan di sana sampai pensiun, 1997. Ahli sejarah sosial Richard Johnson menggantikan posisi Hall sebagai direktur CCCS untuk periode 1980-1987. Pada masa awal kepemimpinan Johnson, bersama dua tokoh kunci lain Michael Green dan Maureen McNeil, Birmingham School semakin mengukuhkan kerangkat kerja teoretis dalam melakukan kajian-kajian budaya. Johnson memiliki ketertarikan pada identitas kolektif, ingatan populer dan historiografi, kebijakan pendidikan, dan teori New Right. Fokus kajian Green, antara lain: media dan fotografi; budaya dan kota; lembaga dan kebijakan di bidang seni, media dan budaya. Sementara itu, McNeil mengisi pendekatan fenimisme di CCCS dengan penelitian tentang studi sains, teknologi dan gender; sains, teknologi dan budaya populer; serta, kerja dan seksualitas.

Masa-masa Sulit

Pada 1984, CCCS berubah nama menjadi Department of Cultural Studies (DCS) sebagai konsekuensi dari tekanan ekonomi pada struktur dan sistem pendidikan di kampus-kampus Inggris. Perubahan itu juga menandai transisi kajian budaya dari Faculty of Arts ke School of Social Sciences di Faculty of Commerce and Social Science. Sosiolog ahli rasisme John Gabriel dan ahli Marxisme dan teori ideologi Jorge Larrain turut bergabung dalam pendirian DCS.

DCS didirikan sebagai sebuah unit kerja yang lebih besar daripada sekadar pusat penelitian tapi juga menawarkan matakuliah untuk program sarjana (undergraduate). Pada waktu itu, Inggris mengalami ekspansi jumlah mahasiswa yang berbanding terbalik dengan dana yang disediakan pemerintah untuk pendidikan tinggi. Kampus-kampus pun harus menyusun program yang dapat menarik banyak mahasiswa untuk bertahan hidup. Birmingham menjadi sebuah anomali dengan menutup program sosiologi dan justru mengembangkan program Cultural Studies dengan menarik beberapa ahli sosiologi ke sana.

Perubahan drastis pada struktur pendanaan pendidikan tinggi berlanjut sampai pemisahan tegas antara dana untuk pengajaran dan dana untuk penelitian yang berdampak pada kesehatan ekonomi kampus-kampus di Inggris.[23] Kampus-kampus semakin sulit untuk merekrut tenaga pengajar baru mengakibatkan rasio pengajar-mahasiswa semakin menjauhi ideal. Pengajaran massal pun harus mengorbankan kualitas pengajaran di banyak bidang, termasuk kajian budaya. Pengelola pendidikan tinggi harus berpikir keras dan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan sumber-sumber pendanaan dari luar kas negara agar bisa tetap bertahan.

Sebagai satu usaha untuk bertahan hidup, pada kurun 1990-1995, DCS masuk dalam jaringan Erasmus yang memungkinkannya untuk melakukan pertukaran mahasiswa dan pengajar dengan kampus-kampus Eropa lainnya. Birmingham School pun terjaring-kerja dengan Universitas Aarhus (Denmark), Universitas Amsterdam (Belanda), Universitas Barcelona (Spanyol), Universitas Copenhagen (Denmark), Universitas Dublin (Irlandia), Universitas Goldsmiths (Inggris), Universitas Middlesex (Inggris), Universitas Paris 8 & 10 (Prancis), Universitas Roskilde, dan Universitas Tübingen (Jerman). Selain itu, di tingkat internal, DCS bekerjasama dengan beberapa pusat studi lain di Birmingham, antara lain: Sastra Rusia dan Eropa Timur; pembangunan perkotaan dan kawasan; studi Afrika Barat; serta, tentu saja, Sejarah dan Sastra Amerika.

Pada 1991, dua orang tenaga peneliti bergabung di DCS. Mereka adalah Ann Gray (perempuan dan waktu luang domestik; media; budaya populer; politik penelitian) dan Sadie Plant (teori budaya; post-strukturalisme; post-modernisme; praktik budaya garda-depan; sejarah pemikiran). Bersama lima staf yang sudah ada, mereka turut mewarnai tradisi intelektual Birmingham School sampai akhir 1990an. Terbitan berkala tahunan Cultural Studies at Birmingham edisi 1 dirilis pada 1991 berisi kumpulan tulisan para mahasiswa dan kuliah-kuliah tamu yang diselenggarakan DCS. Sayangnya, karena persoalan biaya cetak dan penjualan, berkala itu hanya mampu terbit 4 kali.

Masa pemerintahan Perdana Menteri Inggris John Mayor (1991-1997) ditutup dengan perubahan kebijakan politik yang memberi dampak serius pada kehidupan pendidikan tinggi di Inggris.[24] Ketika Tony Blair menggantikannya, pemerintah Inggris menetapkan biaya pendidikan sebesar £1.000 per tahun per mahasiswa yang berlaku efektif pada 1998. Situasi ini menjadi seleksi alam bagi berkurangnya jumlah mahasiswa yang berdampak pada usaha rasionalisasi lembaga di beberapa kampus. Birmingham bermaksud mengembalikan program sosiologi yang sempat ditutup pada 1980an untuk menarik mahasiswa.

Pada 1999, Department of Cultural Studies (DCS) resmi berganti nama menjadi Department of Cultural Studies and Sociology (DCSS) dengan menawarkan program sosiologi sebagai andalannya. Frank Webster ditunjuk sebagai direktur. Akan tetapi, evaluasi terhadap kinerja DCSS pada 2001 tidak menunjukkan hasil baik. Hal itu berdampak pada keputusan untuk menutup program tersebut mulai Juli 2002.

Pengumuman dari pimpinan School of Social Sciences tentang rencana penutupan DCSS disampaikan melalui e-mail kepada seluruh staf dan mahasiswa tanggal 20 Juni. Waktu itu, tercatat sekitar 250 mahasiswa sarjana dan 50 orang di pascasarjana. Pada para mahasiswa tersebut, pihak kampus memastikan bahwa ijazah akan tetapi dikeluarkan sesuai dengan yang pernah dijanjikan di awal. Seketika itu juga, surat dan e-mail menyatakan keberatan atas penutupan tersebut berdatangan. Mayoritas ditulis oleh para alumni.

Pada 1 Agustus 2002 sebuah pertemuan terbuka digelar oleh Lynne Jones, perwakilan mahasiswa, dan beberapa staf yang terdampak oleh penutupan itu. Kampanye dukungan terus menguat, termasuk dari dua lembaga asosiasi profesi: British Sociological Association dan Media, Communication, and Cultural Studies Association. Kelompok pendukung Birmingham School mengajukan banding ke Dewan Pendanaan Perguruan Tinggi dan menteri yang mengurusi perguruan tinggi. Para pejabat tinggi tersebut menyatakan keprihatinannya atas penutupan DCSS, namun mereka juga menyatakan tidak punya wewenang untuk mengintervensi keputusan internal kampus.

Kompleksitas “Kajian Budaya”

Sejarah Birmingham School dari 1962 hingga 2002 merupakan sejarah tentang marjinalisasi terhadap kajian budaya dan juga kajian kritis terhadap budaya populer secara umum. Sejak awal berdirinya, Birmingham School sudah mendapatkan kritik dari banyak pihak, akademis dan politis. Beberapa saat setelah Hoggart mendirikan CCCS, misalnya, sebuah surat muncul di suratkabar mahasiswa Redbrick. Surat itu ditulis oleh tiga ilmuwan sosial dari Birmingham (A.D. Chambers, C.R. Hinings dan J.M. Innes) yang menyatakan keberatan dengan gagasan kajian-kajian budaya dibuka sebuah ranah baru penelitian akademis.[25] Mereka menganggap CCCS melakukan hal yang tak masuk akal dengan mencoba menjelaskan fenomena perilaku sosial manusia yang kompleks hanya dengan sebuah pendekatan sederhana yang lebih menyerupai “jurnalisme populer”. Tuduhan paling tajam, seperti sudah dibahas di atas, mungkin datang dari Julius Gould yang menuduh Birmingham School sebagai “zona merah” dalam studi sosial-humaniora. Kritikus Amerika Serikat Thomas Frank juga menyoroti keterbatasan Cultural Studies dalam menawarkan kerangka teoretis alternatif bagi kapitalisme pasar.[26]

Apapun itu, pelbagai kritik yang disampaikan tersebut menandakan bagaimana pentingnya upaya Cultural Studies menjadi pendekatan alternatif bagi ilmuwan sosial-humaniora tidak hanya di Birmingham, di Inggris, tapi juga di dunia. Belajar dari sejarah Birmingham School, kita dapat melihat bagaimana peralihan penerimaan Cultural Studies dari sekadar studi Sastra Inggris menuju kajian sosial-humaniora secara lebih luas.

Cultural Studies berusaha melampaui teks dan berusaha memahami konteks dan intertekstualitas dari sebuah teks. Teks dalam karya sastra adalah produk budaya yang di dalamnya nilai-nilai kultural tertentu sedang direproduksi. Berkaca pada pengalaman Birmingham School, kajian budaya bukan sekadar sebuah pendekatan multidisipliner yang sekadar menggabungkan beberapa pendekatan untuk melihat sebuah objek penelitian; dia bukan juga pendekatan yang transdisipliner, berangkat dari satu disiplin untuk berubah bentuk ke dalam beberapa sub-disiplin baru; dia dimaksudkan lebih sebagai sebuah pendekatan interdisipliner yang merupakan sebuah penciptaan disiplin hibrid yang berusaha memanfaatkan, memunculkan, atau menerjemahkan ragam konsep dan metode yang multidisiplin.[27]

Namun, seperti budaya hibrid lainnya, kajian budaya akan selalu diterima secara ambivalen: pada satu sisi diterima dan dibanggakan, namun pada sisi lain diingkari dan dikucilkan.[28] Tradisi kajian budaya yang dikembangkan Birmingham School telah mewarnai pemahaman intelektual dunia terhadap bagaimana memperlakukan budaya kontemporer. Di tangan Birmingham School, Cultural Studies menawarkan usaha melakukan kajian budaya yang tidak hanya sekadar berfungsi memahami budaya, tapi menjalankan fungsi politis untuk mengubah bentuk-bentuk budaya.[29]

Pada September 1983, Richard Johnson, direktur ketiga CCCS, mengajukan sebuah pertanyaan sederhana, namun sangat fundamental: “Apa itu kajian budaya?” (What is cultural studies, anyway?)[30] Alih-alih menemukan satu jawaban tunggal, pertanyaan itu justru memicu pelbagai tafsir atas apa itu kajian budaya dan bagaimana kita melakukannya.

Selama ini, belum ada buku pengantar kajian budaya yang tersedia ditulis dalam konteks masyarakat dan budaya Indonesia. Ini juga berarti ada tiga dimensi analisis yang potensial hilang dalam penerimaan kajian budaya di Indonesia. Pertama, dimensi poskolonialitas. Beberapa contoh memang telah membahas tentang bagaimana melakukan kajian budaya terhadap karya sastra genre poskolonialitas ataupun menggunakan bingkai analisis poskolonialitas dalam menganalisis produk budaya tertentu. Kedua, dimensi orientalisme. Sebagai bagian dari adat Ketimuran, ada kecenderungan membingkai Indonesia sebagai bagian dari “yang Oriental”. Ketiga, dimensi kegamangan menentukan arah dan gerak modernitas. Sebagai negara pasca kolonial yang adalah bagian dari budaya Ketimuran, Indonesia mengalami krisis identitas yang cukup serius dalam menentukan arah modernitas yang hendak dituju.

Beberapa pertanyaan yang muncul, antara lain: Apakah modernisasi berarti proses Westernisasi? Ataukah, modernisasi adalah sebuah gerak rasionalisasi akar-akar budaya tradisi Ketimuran? Ataukah, kondisi modernitas yang kita bayangkan adalah sebuah proses hibridisasi pelbagai ragam nilai-nilai kultural yang ada? Bagaimana kemudian rekonfigurasi bentang-budaya di era globalisasi, seperti yang disampaikan oleh antropolog Arjun Appadurai,[31] turut berpengaruh dalam memperkuat, melemahkan, atau mendistorsi identitas kita?

Harus diakui, pertanyaan-pertanyaan ini telah menghantui usaha saya dalam mengenalkan kajian budaya pada pemelajar ilmu sosial di Indonesia. Upaya mengabaikan tiga dimensi analisis tersebut menjadikan pengajaran kajian budaya di Indonesia sebatas proyek (neo)kolonialisme ilmu pengetahuan—sasaran utama kritik kajian budaya. (*)

Catatan Akhir:

 

[1] Ariel Heryanto, “Cultural Studies’ Significant Others: The Case of Indonesia,” Antropologi Indonesia 29, no. 1 (Januari 2005): 1–15.

[2] Geger Riyanto, “Memperbincangkan Sejarah-sejarah Mikro Disiplin Sosiologi,” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT 17, no. 1 (Januari 2012): 84–98.

[3] Heryanto, “Cultural Studies’ Significant Others: The Case of Indonesia,” 6–7.

[4] Dennis Dworkin, “The Lost World of Cultural Studies, 1956-1971: An Intellectual History,” in Cultural Studies 50 Years On: History, Practice and Politics, ed. oleh Kieran Connell dan Matthew Hilton (London: Rowman & Littlefield Publishers, 2016), 9.

[5] Ann Gray, “Cultural Studies at Birmingham 1985-2002 – The Last Decades,” in Cultural Studies 50 Years On: History, Practice and Politics, ed. oleh Kieran Connell dan Matthew Hilton (London: Rowman & Littlefield Publishers, 2016), 49–62.

[6] Kieran Connell dan Matthew Hilton, “Cultural Studies on the Margins: The CCCS in Birmingham and Beyond,” in Cultural Studies 50 Years On: History, Practice and Politics, ed. oleh Kieran Connell dan Matthew Hilton (London: Rowman & Littlefield Publishers, 2016), 63–87.

[7] Dworkin, “The Lost World of Cultural Studies, 1956-1971: An Intellectual History.”

[8] Dworkin, 5.

[9] Dworkin, 12.

[10] Dworkin, 11.

[11] Connell dan Hilton, “Cultural Studies on the Margins: The CCCS in Birmingham and Beyond,” 67–68.

[12] Jo Littler, “On Not Being at the CCCS,” in Cultural Studies 50 Years On: History, Practice and Politics, ed. oleh Kieran Connell dan Matthew Hilton (London: Rowman & Littlefield Publishers, 2016), 275–76.

[13] Lawrence Grossberg, “Cultural Studies in Search of a Method, or Looking for Conjunctural Analysis,” New Formations 96 (2019): 38–68.

[14] Littler, “On Not Being at the CCCS,” 277.

[15] Grossberg, “Cultural Studies in Search of a Method, or Looking for Conjunctural Analysis,” 39.

[16] Grossberg, 44.

[17] Dworkin, “The Lost World of Cultural Studies, 1956-1971: An Intellectual History,” 13–14.

[18] Charnell Peters et al., “1968–A Turning Point in Cultural Studies,” Lateral 8, no. 2 (2019), https://doi.org/10.25158/L8.2.11.

[19] dikutip dari Dworkin, “The Lost World of Cultural Studies, 1956-1971: An Intellectual History,” 14.

[20] Dworkin, 15.

[21] Geoff Eley, “Conjuncture and the Politics of Knowledge: The Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS), 1968-1984,” in Cultural Studies 50 Years On: History, Practice and Politics, ed. oleh Kieran Connell dan Matthew Hilton (London: Rowman & Littlefield Publishers, 2016), 32–33, 37–38.

[22] Connell dan Hilton, “Cultural Studies on the Margins: The CCCS in Birmingham and Beyond,” 76–77.

[23] Gray, “Cultural Studies at Birmingham 1985-2002 – The Last Decades,” 53–54.

[24] Gray, 57–58.

[25] Connell dan Hilton, “Cultural Studies on the Margins: The CCCS in Birmingham and Beyond,” 63–64.

[26] Connell dan Hilton, 80.

[27] Lawrence Grossberg, “Seeking Interdisciplinarity: The Promise and Premise of Cultural Studies,” in Cultural Studies 50 Years On: History, Practice and Politics, ed. oleh Kieran Connell dan Matthew Hilton (London: Rowman & Littlefield Publishers, 2016), 123–33.

[28] Tentang sifat ambivalen dalam budaya hibrid, lihat Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London & New York: Routledge, 1994).

[29] Dworkin, “The Lost World of Cultural Studies, 1956-1971: An Intellectual History,” 21.

[30] Kieran Connell dan Matthew Hilton, “Introduction,” in Cultural Studies 50 Years On: History, Practice and Politics, ed. oleh Kieran Connell dan Matthew Hilton (London: Rowman & Littlefield Publishers, 2016), xii.

[31] Arjun Appadurai, Modernity at Large (Minneapolis, London: University of Minnesota Press, 1996).


Anton Novenanto adalah Peneliti CCFS; mengajar mata kuliah “Cultural Studies” di Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya. Surel: nino@ub.ac.id