oleh Hatib Abdul Kadir

Jika ada antropolog yang patut jadi acuan saat ini adalah Sophie Chao. Ia melakukan riset tentang Sawit di Merauke, ujung timur Provinsi Papua. Chao menunjukkan simbiosisme biotik antara hutan, binatang dan manusia yang lebih dari relasi antar manusia secara sosiologis. Chao adalah generasi peneliti model terbaru saat ini. Ia tidak menghabiskan waktunya dengan melakukan wawancara membosankan berjam-jam. Melainkan ia berjalan masuk keluar hutan, menyisir pohon pohon sagu sembari bercerita dengan orang Marind. Model pendekatan ini pula yg digunakan Anna Tsing dalam buku lawasnya, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan (1998).

Berkat bantuan gereja humanitarian, Sophie mampu menghabiskan berbelas bulan waktu risetnya pada masyarakat Marind Anime,  yang berarti “manusia petani”. Suku ini terletak di Merauke. Mereka menganggap bahwa tanaman dan binatang adalah bagian dari kerabat atau kindred yang juga punya nyawa. Model kekerabatan antar manusia itulah yang kemudian dibawa pula membentuk relasi oramg Marind dengan binatang dan timbuhan dan hutan. Chao menggambarkan bahwa Sagu adalah pohon yang penuh kedamaian. Ia merdeka berada jauh di tengah hutan tempat dimana orang Marind percaya nenek-nenek moyang mereka berasal. Sago tidak didomestikkan disamping rumah dan tidak berada di dalam kampung tempat dimana penuh pengawasan militer dan polisi.

Hutan bagi orang Marind adalah buku sejarah yang hidup (loving history book). Sejarah masa lalu mereka dibaca melalui penanda-penanda hutan. Bekas banjir, bekas kebakaran, bentuk sungai,  bekas guratan jejak, guratan lapisan kayu pohon. Berjalan di hutan adalah penuh dengan sejarah multispesies. Untuk berjalan menuju pohon sagu, orang Marind bercerita berbagai makna sejarah tempat-tempat yang bermakna bagi marga dan nenek moyang mereka. Binatang dan tumbuhan menciptakan makna dan meyebarkan pesan terhadap manusia. Caranya adalah dengan mereka memberikan makan pada manusia. Sebagai timbal baliknya manusia menciptakan rasa hormat. Dalam berburu, orang Marind meminimkan manipulasi yang menyebabkan kerusakan-kerusakan hutan diakibatkan aktivitas mereka. Karena itu, sagu adalah tanaman yang paling dihormati karena mereka menyediakan makanan pokok bagi orang Marind. Sedangkan sagu sendiri dapat hidup karena dukungan pasokan air dari rawa-rawa sekitar yang juga menjadi tempat minum binatang seperti kasuari. Sagu dipahami sebagai tanaman yang bisa hidup dengan yang lainnya dan berbagi ruang bersama dan membentuk simbiosis bersama atau yg disebut “interspesises companionship”. Relasi ini bersifat intergenerasional. Masyarakat juga mengambil anakan sagu yang ditanam dekat rumah kemudian nantinya ketika mulai tumbuh membesar dikembalikan ke induknya sebagai kerabat yang sah dihutan.

Gerak Sawit, gerak Tentara

Semua interspecies companionship bubar karena ekspansi sawit. Sawit mulai dikembangkan di Merauke secara masif tahun 2008. Ekspansinya dimulai ketika badan kedaulatan pangan nasional mulai mencari akuisisi lahan luas yang kosong. Tujuannya untuk mengatasi ancaman krisis pangan, sekaligus menjadikan Indonesia surplus pangan, dan menjadi negara pengekspor pangan. Jika kita merujuk Poisoned Arrow (1989), tulisan George Monbiot, seorang jurnalis Inggris, Merauke telah mempunyai sejarah panjang percobaan pembangunan dari transmigrasi dan perkebunan sawah besar sejak 1960s, demikian juga dengan invasi jagung dan kacang dalam jumlah besar.

Bagi masyarakat Marind, tanaman seharusnya liar. Domestifikasi tanaman dalam jumlah besar adalah kekerasan dan kontrol terhadap pertumbuhan alami tanaman. Sawit, dalam pandangan orang Marind menyerupai garnisun militer. Chao menyebutnya sebagai “Topografi terror”. Untuk mengubah topografi tidak mudah. Untuk mengubah zona kawasan menjadi sawit, perusahaan perlu didukung oleh pengamanan tentara . Tanaman terlihat seperti militer karena mereka berbaris rapi, terlihat seragam dan homogen. Demikian juga seperti sawit, tentara bergerak dengan gerakan tubuh yang sama. Sawit, seperti tentara, adalah senjata pemerintah. Berbagai upaya melakukan pedampingan dan pembelaan yang dilakukan LSM nasional terbentur dengan tentara dan polisi yang semakin intensif dalam menjaga ruang lahan yang telah diduduki.

Sebagai topografi terror, Sawit adalah teror publik karena ia muncul melalui manipulasi lanskap yang dipromosikan oleh negara. Ia meresonansikan perasaan yang penuh kontrol, ketakutan dan perasaan terancam. Dalam pengambilan lahan (land grabbing), komunitas Marind tidak diberi informasi apakah lahan akan kembali ke mereka atau tidak ketika menandatangani kontrak. Daripada berkonsultasi dengan baik dengan komunitas, perusahaan melakukan gerak cepat pengambilan lahan sehingga komunitas tidak mempunyai cukup waktu mempertimbangkan lahan-lahan kolektif mereka. Tidak terjadi perbincangan yang cukup karena prosesnya pengambilannya juga melalui elit-elit kampung. Komunitas kemudian merasa mereka telah mengkhianati relasi relasi hewan dan binatang di hutan, dan mengkhianati relasi mereka dengan nenek moyang.

Banyak komunitas terbelah (split) antara mereka yang menolak dan menerima. Generasi muda Marind cenderung pro terhadap sawit. Perusahaan sawit memberikan kesempatan anak muda untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji bulanan yang tetap dan kesempatan mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Namun pada saat yang sama, di akar rumput banyak pula anak muda yang terlibat dengan gerakan kampanye hak adat mengakses tanah. Banyak dari mereka yang frustasi. Mereka lebih tahu banyak tentang hukum, namun orang-orang tua (elders) yang lebih menentukan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan perempuan dan anak muda lebih mengungkapkan frustasinya  terhadap para orang tua yang tidak melibatkan mereka dalam sosialisasi mengenai proses pelepasan tanah. Perempuan memikirkan bagaimana cara mengatasi krisis perampasan tanah dengan berencana berjualan di pasar di Merauke, Jayapura atau membuat kerajinan tangan.

Chao juga menulis di sebuah majalah populer antropologi Sapiens. Ia menunjukkan sisi gelap dari ide berkelanjutan ala sawit dengan cara perusahaan melakukan konservasi agar mengcounter rusaknya pembersihan hutan (land clearing). Dalam  kenyataannya, kapitalisme dan konservasi adalah dua koin yang sama karena keduanya tetap mengeksklusi masyarakat dari tanahnya dan relasi multispesies mereka dengan hutan. Di majalah ini, anekdot yang meruntuhkan hati adalah seorang anak yang meninggal karena meminum air terkontaminasi luberan limbah dari pabrik sawit. Orang tua anak tersebut hendak menguburnya di dalam hutan dekat dengan kawasan nenek moyang mereka. Perusahaan kemudian menolak. Mereka menganggap tindakan tersebut tidak higienis. Dengan alasan konservasi berkelanjutan, mereka beranggapan mengubur tubuh di dalam hutan akan mengundang tikus dan serangga, dan menganggu flora dan fauna di dalamnya. Anak ini kemudian dikubur disamping jalan Trans Papua, sebuah proyek raksasa pemerintah nasional. Orang tua anak ini kemudian dihantui oleh mimpi buruk tentang anaknya yang kesepian disamping jalan Trans Papua yang berdebu. Kekerasan atas nama konservasi dan kapitalisme tidak hanya menghancurkan keseharian orang orang Marind, bahkan seperti diatas, ia telah mengganggu kedamaian manusia yang telah mati.

Yang ironi adalah terdapat jarak perbedaan antara konservasi berkelanjutan (sustainable conservation) versi perusahaan dengan hukum nasional. Elemen pertama cenderung tidak menyentuh sisi hak asasi manusia dan hanya fokus pada permasalahan ekologi dalam melakukan konservasi. Konservasi berkelanjutan tidak mengindahkan hak hidup, hak mata pencaharian, hak konsumsi, hak produksi, dan hak ritual dan kepercayaan orang Marind. Sedangkan elemen kedua, hukum nasional, cenderung lemah untuk ditegakkan ketika berada di daerah periferi semacam Merauke.

Kooptasi Nilai Sosial

Salah satu penemuan menarik Chao adalah, perusahaan sawit juga melakukan kooptasi terhadap norma-norma sosial dan resiprositas masyarakat Marind. Perusahaan sawit melakukan sosialisasi proyek sawit terhadap komunitas dan memperkenalkan keuntungan yang akan didapat oleh masyarakat. Perusahaan memberi banyak makanan, rokok, kepada anggota-anggota komunitas. Sehingga hal ini menimbulkam rasa kewajiban dari komunitas untuk mengembalikannya sebagai resiprositas. Karena rasa hutang budi telah dimunculkan, oleh perusahaan, maka komunitas menyerahkan lahan mereka sebagai balas budi dari pemberian.

Kehidupan sosial lain yang dikooptasi adalah ritual. Perusahaan menggunakan ritual sebagai cara mempasifikasi atau mendamaikan komunitas. Chao menyebutnya sebagai “coopted ritual” atau ritual yang dikooptasi adalah ritual yang didanai oleh korporasi. Tujuannya untuk mengkooptasi agar komunitas terpesona terhadap infiltrasi kapitalisme sawit. Meski demikian, riset Chao masih menyisakan pertanyaan bagaimana perusahaan dapat mengetahui nilai sosial seperti resiprositas dan ritual yang kemudian dikooptasi oleh mereka. Chao berpendapat hal tersebut didapat dari gosip dan rumor yang beredar, namun penjelasan tersebut belum begitu meyakinkan.

Kabar baik saat ini adalah EU melakukan moratorium terhadap penanaman sawit dan tidak menerima lagi produk sawit. Kabar ini setidaknya memberhentikan untuk sementara perluasan dan pembersihan hutan untuk lahan sawit. Moratorium sekaligus memberikan nafas lega untuk ratusan ribu peladang (smallholders) di Papua untuk meneruskan livelihood (mancari) mereka. Pada tahap inilah, gerakan gerakan lokal perlu menggaungkan dirinya hingga terdengar oleh jejaring NGO dan aktivisme internasional yang terbukti mampu mengurangi praktik ekstraksi di ranah lokal. Meskipun terkadang, kabar baik seperti ini hanya bersifat sementara.


Hatib Abdul Kadir adalah peneliti CCFS UB dan Dosen Antropologi Universitas Brawijaya.