oleh Arie Wahyu Prananta
New Normal masih menjadi sebuah “shadow” akan berakhir kapan? dalam situasi pandemi covid-19 sekarang ini apakah manusia hanya menjadi subyek yang selalu pasrah dan menerima keadaan dan harus mematuhi protocol pandemic covid19 yang ada, Jawaban masih tetap harus mengikuti protokol pandemic yang ada, tetap waspada dan berhati-hati, adakah peluang pekerjaan, tulisan di artikel ini sengaja untuk membongkar pemikiran kita, sebuah apakah era masa transisi post truth (new normal), apakah daya adaptasi manusi di era ini akan menjadi titik balik muncul sebuah peluang yang luar biasa besar? Mari kita bongkar satu persatu. Yang pertama dilakukan adalah kita akan membongkat sudut pandang kita. Boleh jadi sudut pandang kita yang lama menempatkan diri kita menjadi terkungkun, statis dan tidak kreatif.
Membongkar sudut pandang adalah daya adaptasi yang paling awal dilakukan. Tulisan ini mencoba menawarkan menawarkan perspektif baru tentang perubahan mindset di saat pandemic covid19 memasuki tahapan transisi atau era New Normal. Ibarat membentangkan busur anak panah sebelum busur anak panah tepat mengenai sasaran ada baiknya pada era transisi (New Normal) saatnya menarik busur itu sekencang-kencangnya kebelakang dengan sepenuh hati.
Tawaran sebuah ide dalam membangun sudah banyak dikemukakan oleh beberapa kelompok seperti pendekatan kelompok aliran, globalis, megalomonis dan milenial generasi, samapai saat ini belum menampakkan hasil yang maksimal, bagaimana hegemoni Keynesian hadir sebagai old Paradigma juga belum menampakkan hasil yang optimal. Saatnya sekarang ini lahir sebuah era yang mencoba membalik old ekonomi theory dengan mencoba membangun dari yang paling belakang penerima manfaat dari ekonomi yang ada, meminjam istilah R.Chambers, Puting the last First. Nampaknya konsep Glokalisasi sangat tepat dalam situasi era Post Truth ( masa transisi dalam era new normal).
Glokalisasi adalah sebuah tawaran baru dalam mengembangkan industri jasa pariwisata yang akan ada. Sebuah pertanyaan yang besar apakah mungkin dan apakah bisa jalan tawaran konsep ini, jangan -jangan hanya sebuah tawaran konsep yang omomg kosong belakang. Mari kita lihat apakah hanya sebuah omong kosong belaka dalam tulisan ini.
Industri Jasa Pariwisata yang ada realitasnya yang mampu menyumbang devisa cukup efisien dan optimal dengan target akhir tahun 2019, total nilainya mencapi 20 miliar dollar AS atau setara Rp 2,8 triliun (1 dollar =Rp14.000) dan Indonesia mampu mencapainya hanya dengan kurun waktu 1tahun sebesar 75% nya dari target total nilai diatas. Artinya baru satu tahun saja sektor industri Pariwisata sangat menggeliat dan menjanjikan sekali . Apalagi di akhir tahun 2019 Indonesia mencatatkan dirinya pada 9 negara yang memiliki destinisi wisata terbanyak dikunjungi wisatawan asing, artinya disini kelokalan destinasi wisata menjadi incaran di dunia global.
Pertanyaan yang mendasar butuh persiapan apa saja yang harus dilakukan? Memulai sesuatu yang ada walaupun kecil dan sedikit dari pada hanya berpikir. Saat ini ibarat orang akan meleseatkan busur panah era saat ini adalah era di mana busur yang akan dilepas butuh di bentangkan dan ditarik sekuat- kuatnya ke belakang, agar nanti saat melpeaskan busur panah akan tepat mengenai sasaran.
Mengangkat lokalitas destinasi wisata di tingkat global adalah sebuah tawaran baru membutuhkan Langkah awal. Tidak terlalu sulit di era medsos sekarang ini kita bisa memviralkan destinasi wisata yang ada. Adapapun Langkah teknis yang paling penting adalah mempersiapkan pemetaan detail destinasi wisata ditingkat lokal yang ada, peta sosial itu meliputi Bentang Alam, Siapa yang akan mengelola, bentuk pengelolaan seperti apa, bagaimana peran serta masyarakat lokal dalam mengelola hal tersebut. Apakah membutuhkan kelembagaan lokal baru dalam mengelola industri Jasa pariwisata yang ada. Penulis berpikir tidak perlu membangun sebuah kelembagaan baru. Penulis berpikir mengoptimalkan lembaga yang sudah ada jauh lebih efektif dari pada melahirkan sebuah Lembaga baru. Kondisi real di masyarakat butuh optimalisai peran Bumdes dan Pokdarwis dalam mengelola wisata di daerah masing-masing. 2 kelembagaan ini harus hadir dan mampu mengoptimalisasi dan memberdayakan warganya serta professional dalam melihat potensi dan peluang yang ada di lokalitas lingkungan.
*Artikel ini telah dimuat sebelum pada Times Indonesia edisi 14 Juni 2020 dengan judul “Glokalisasi obyek pariwisata, peluang menantang di era New Normal” (teks asli) dan telah mendapatkan ijin dari penulis untuk diterbitkan kembali dengan penyuntingan seperlunya dari editor opini CCFS UB.
Arie Wahyu Prananta adalah Dosen Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura [Email : [email protected]].