Oleh HATIB ABDUL KADIR –

Ini adalah tahun paling aneh. Jutaan orang berduka pada saat yang sama dengan alasan berbeda. Disaat pandemi tiba, kenalan, tetangga hingga keluarga terdekat meninggal akibat wabah ini. Di saat yang sama kematian berturut-turut melanda kedukaan secara masal, dari Glenn Fredly, Didi Kempot hingga George Floyd. Minggu-minggu awal ketika pandemi diumumkan, kita sulit memaknai perasaan ketidaknyamanan ini. Banyak karyawan dirumahkan. Yang pertama terkena dampaknya adalah tenaga kerja kontrak (outsourcing). Mereka tidak diberi pesangon dan tidak tahu bagaimana mendapatkan makanan diatas meja esok hari atau minggu depan. Pekerja seni kehilangan aktivitasnya karena mereka mengandalkan pada kerumuman, dan pekerja sektor informal tidak lagi dapat berjualan. Setelah itu, pemeritnah melarang orang bersalaman, berkumpul, dan mudik. Jalanan mulai sepi. Setelah beberapa waktu, kita mulai dapat mendefinisikan perasaan ini adalah: duka.

Duka adalah bagian dari organisme kehidupan yang natural. Secara kultural, fase-fase kedukaan diingat, dirayakan dalam bentuk tarian, tahlilan, nyanyian, hingga ziarah. Sayangnya, di era modern yang menysaratkan optimisme, rasa duka terus ditekan. Padahal, jika kita membaca berbagai media cetak dan online, semakin banyak berita tentang kekecewaan, ketidaknyamanan dan protes akibat penggusuran, ekspresi kebebasan yang ditekan, hingga protes akibar rusaknya linkungan.

Kedukaan berkaitan dengan rasa kehilangan. Zizek dalam dalam bukunya Living in the End of Times (2010) mencatat rasa duka tersebut meliputi empat hal, yakni krisis ekologi, revolusi biogenetik tanpa etika, ketimpangan dalam sistem ekonomi, dan meletusnya protes-protes karena ketimpangan sosial dan ekonomi. Empat rasa duka ini berkaitan dengan perasaan kehilangan dan ketercerabutan (loss and deprivation) dari lingkungan yang ramah, harapan akan pekerjaan yang stabil dan aman, hilangnya akses kesehatan publik dan keadilan. Psikolog keturunan Swiss-Amerika, Elisabeth Kubler-Ross menghubungkan kedukaan dengan peristiwa kehilangan secara personal yang meliputi perceraian yang berarti kehilangan pasangan. PHK berarti kehilangan jaringan kerja, ketergantungan obat-obatan terlarang dan kematian. Bersama David Kessler, Elisabeth Kubler-Ross menulis buku yang cukup popular On Grief and Grieving (2007). Ia membagi fase berduka dalam lima tahap. Fase menolak (Denial), marah (Anger) tawar-menawar (Bargaining ), murung (Depression), dan penerimaan (Acceptance). Di artikel ini saya mengacu pada model lima tahap Ross dan Kessler mengenai respon masyarakat dan pemerintah Indonesia terhadap pandemi korona. Meski tidak semua model penahapan ini selalu tepat karena banyaknya variasi kultural dan etika sosial pada bangsa kita.

Fase menolak dan marah

Tahap penolakan terlihat sejak pandemi masuk di Indonesia. Kita menyaksikan ada banyak pejabat tinggi yang melakukan penolakan terhadap kabar buruk ini. Mereka mengatakan bahwa sinar matahari tropis Indonesia dapat membunuh virus. Kalaupun terkena virus, cukup dengan nasi makan kucing sampai doa qunut mampu menangkal korona. Tahap kemarahan, meski tidak sampai pada tingkat ekstrim, nampak pada beragamnya respon terhadap kurang koordinasinya pemerintah dalam menangkal virus. Jalan-jalan ditutup dengan portal. Seiring meningkatnya kriminalitas, banyak terjadi pembegalan motor, penjambretan di depan minimarket. Warga kampung mulai tegas terhadap orang Asing. Antropolog Pudjo Semedi mengatakan virus bersifat seperti dhemit, dhanyang, setan. Meski tidak dapat dilihat, keberadaannya dapat dipercaya karena ada aparatus dan infrastruktur yang mencegah kedatangannya, seperti dukun, dokter, hingga pos dan portal perumahan.

Tawar menawar

Ini adalah tahap dimana orang mulai melihat virus korona adalah hasil dari teori konspirasi (TK). Virus dilihat dari sudut pandang politik ekonomi. Tom Nichols dalam bukunya Matinya Kepakaran (2019) menegaskan bahwa TK merupakan pseudo science atau sains semu setingkat diatas takhyul. TK menarik karena memberikan analisis bahwa ada segelintir aktor atau agen-agen rahasia yang secara maha kuasa mempunyai kekuatan tertentu untuk mengubah sistem. Pandangan ini diterapkan dalam melihat penyebab munculnya virus hingga masifnya gerakan protes atas kematian George Floyd di seluruh Amerika.

Pandangan TK menafikkan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini bersifat kacau balau dan tidak semuanya sambung menyambung secara rapi. Namun TK mampu menarik orang awam bahkan artis, karena ia dibangun secara dramatis, dan yang terpenting menjadi pegangan bagi orang yang dirundung kesedihan dan kebingungan melihat perubahan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Tom Nichols mensinyalir bahwa TK tumbuh subur ketika masyarakat Amerika mengalami industrialisasi pesat yang kemudian diikuti dengan krisis pada tahun 1930. Mereka yang mengalami dislokasi akibat penggusuran dan terpinggirkan akibat kalah bersaing dalam kompetisi ekonomi global sangat mempercayai TK, bahwa ada aktor-aktor tertentu, seperti dari Yahudi yang secara rapi berupaya menyingkirkan warga mayoritas.

Murung

Jumlah korban virus korona akan terus bertambah. Yang menyedihkan dari kematian dari virus ini adalah isolasi sosial. Baru pertama kali dalam sejarah, entah itu perang, wabah, bahwa orang-orang terdekat tidak boleh mendampingi orang tercinta yang meninggal. Warga tidak boleh melakukan upacara kematian dan kumpul-kumpul pasca pemakaman. Padahal dalam berbagai kultur, kematian selalu diikuti dengan pengorganisasian keramaian. Orang berkumpul, menari, memotong kerbau, membaca syair, dan mengutip doa. Tujuan kehadiran secara fisik dalam pemakaman adalah untuk berbagi duka bersama dan terpenting kehadiran warga untuk menjadi saksi bahwa yang meninggal adalah orang baik. Namun saat ini empati tersebut hampir mustahil karena keluarga yang ditinggal juga harus diisolasi karena dikhawatirkan tertular virus. Pandemi ini juga otomatis menahan tradisi seperti tahlilan sebagai ingatan komunal dalam mengenang orang meninggal pasca 3 hari, 7 hari, 40 hari dan seterusnya. Dalam tahap depresi ini, mereka yang meninggal dan ditinggal benar benar merasa kesepian.

Menerima dan Mencari Makna

Di tahap penerimaan, Jokowi mulai mengumukan tentang “hidup berdamai dengan Corona” yang artinya adalah virus ini tidak dapat dihilangkan. Sifat virus ini mungkin akan seperti kuman TBC atau parasit demam berdarah yang akan terus berdampingan dengan hidup kita. Penerimaan ini menimbulkan apa yang disebut dengan “kewajaran baru” (new normal). Kita boleh berkumpul, namun harus mengikuti protokol ketat. Kurva pandemi ini mungkin akan turun bulan Agustus atau akhir tahun, namun yang jelas, rasa duka akan jauh lebih panjang berakhir dari kurva pandemi itu sendiri.

Setelah Elisabeth Kubler Ross meninggal pada tahun 2004, dan Kessler menghadapi kenyataan bahwa puteranya meninggal, ia menemukan bahwa tahap menerima saja ternyata tidak cukup. Kessler akhirnya menemukan satu tahap terakhir, yakni makna. Inilah saat kita hidup berdampingan dengan duka. Bukan menolaknya namun memeluknya. Kessler menunjukkan bahwa menemukan makna dari kedukaan ini adalah tahap penutupan agar kita dapat mencari hikmah dari semua jenis bencana yang merundung. Dalam opini saya, duka pandemi ini sudah seharusnya memberikan makna sosial kepada kita untuk mendefenisikan ulang arti peradaban, kemajuan ekonomi dan kebahagiaan. Sedangkan secara personal, pandemi ini memberi makna agar kita menghargai hidup dan kebersamaan dengan orang-orang tercinta di sekitar kita.


Hatib Abdul Kadir adalah peneliti CCFS UB dan Dosen Antropologi Universitas Brawijaya.

16,015 Thoughts on “Waktunya Memeluk Duka”