Beberapa waktu yang lalu, peneliti Center for Culture and Frontier Studies (CCFS) Universitas Brawijaya Dr. Hatib Abdul Kadir mengadakan kegiatan penelitian bersama dengan Anna Tsing (Profesor Antropologi dari University of California, Santa Cruz, Amerika Serikat) untuk melakukan riset di Indonesia Bagian Timur. CCFS secara khusus meminta waktu wawancara dengan Anna Tsing terkait dengan kiprahnya dalam studi tentang Indonesia. Wawancaranya yang disajikan dalam dialog berikut diterjemahkan oleh Hatib Abdul Kadir.

Infrastruktur, Gerakan Adat dan Munculnya Wawasan Ontologis

CCFS:
Anda sudah bekerja dan meneliti di Indonesia selama 30 tahun lebih. Baru-baru ini anda kembali ke Kalimantan Selatan. Jadi perubahan atau hal yang terus berlanjut apa yang anda lihat?

Anna Tsing:
Saya pertama kali melakukan penelitian di Kalimantan, pada tahun 1980-an. Tapi kemudian, selama bertahun-tahun, saya tidak bisa datang ke Indonesia. Jadi saya tidak memiliki pandangan yang terlalu baik tentang segala sesuatu yang terjadi secara langsung karena ada kesenjangan besar dalam pengalaman penelitian karena saya mengerjakan beberapa proyek lain. Jadi, terdapat campuran antara harapan dan hal yang cukup mengejutkan karena saya kembali setelah jeda lebih dari 20 tahun saya tidak berada di Kalimantan. Ketika saya pergi ke sana, ada beberapa kejutan. Pada awalnya semua teman saya mengatakan, “jangan berharap semuanya tetap sama dengan pakaian yang sama, semuanya berbeda”. Oke, jadi saya terkejut ketika beberapa hal masihlah sama.

Kita akan mulai dengan organisasi sosial Kalimantan Selatan. Masih terdapat jalan utama yang dibangun oleh Belanda dari Banjarmasin sampai ke bagian utara. Dan di tengah-tengahnya ada daerah yang disebut Hulu Sungai yang begitu tinggi. Itulah jantung peradaban agraris masyarakat Banjar pada masa lalu. Dan saya terkejut, jadi di sepanjang jalan utama ini, ada rumah-rumah kecil yang merupakan pemukiman padat di sepanjang jalan tidak terpisah terlalu jauh antara satu pusat pendudukan dan pusat pendudukan lainnya. Jadi Anda tahu, ketika Anda memasuki sebuah kecamatan dengan kecamatan lainnya, atau masuk ke sebuah kota kecil. Bentuk pemukiman ini cukup konstan di sepanjang jalan. Dan rumah-rumahnya terlihat sangat mirip dengan apa yang ada di abad ke-20, saya sangat terkejut. Perbedaan besarnya adalah munculnya perusahaan batu bara yang mulai menguasai Kalimantan Selatan, dan mereka telah menghancurkan banyak komunitas. Dan memang, orang-orang mengatakan kepada saya tentang seluruh desa yang hilang begitu saja karena penambangan batu bara. Tetapi jika Anda berada di jalan utama, hal utama yang Anda lihat adalah, pertama-tama, jalan itu agak berdebu karena semua penambangan batu bara dan lalu lintas truk-truk. Dan kemudian di antara rumah-rumah biasa yang terlihat sangat mirip dengan tampilannya sejak dari dulu, ada rumah-rumah besar yang sangat mewah, tidak hanya besar, tapi juga penuh dengan detail hiasan.

Saya pada awalnya mengira itu adalah istana bangsawan Eropa ratusan pada abad pertengahan dimana mereka menaruh semua dekorasi mewah dan cat emas dan segalanya di depan rumah. Rumah-rumah mewah ini tepat berada di tengah-tengah rumah-rumah tua biasa yang cukup berdebu. Di tengah-tengahnya terdapat benda raksasa yang berkilauan yakni rumah mewah ini dan pemiliknya adalah bos-bos perusahaan batu bara itu. Jadi cukup mencolok bagaimana organisasi lama telah dibobol oleh perusahaan batu bara. Dan saya juga melihat di mana truk-truk perusahaan batu bara melewatinya, seperti yang saya pahami itu adalah perjuangan yang cukup berat karena truk-truk perusahaan batu bara pada awalnya hanya melewati jalan utama dan menghancurkan jalan. Jadi perusahaan batubara dan truk trukini tengah menjalankan konsesi dimana seluruh truk harus memiliki jalan sendiri. Dengan demikian, saya melihat ada keberlanjutan dan patahan dari keberlanjutan tersebut yang cukup mengejutkan, yakni kehadiran batubara. Ketika saya sampai di komunitas Dayak Meratus dimana saya pernah menelitinya, demikian juga ada banyak kontinuitas dan keterputusan sejarah. Sejak tahun 1990-an, ada semacam parasitisme pembangunan jalan. Dimulai perusahaan-perusahaan kayu, dan mereka membangun jalan di sana yang katanya untuk masyarakat. Tetapi setelah satu setengah tahun, jalan-jalan itu benar-benar hancur. Jalan-jalan itu benar-benar hanya untuk truk-truk penebangan kayu. Tetapi kemudian, pemerintah datang di mana pun jalan itu berada, dan membangun jalan yang lebih permanen dan kemudian membuka daerah-daerah itu untuk orang-orang dari seluruh penjuru.

Jadi sekarang, saya mendapatkan cerita banyak dari orang-orang bahwa, tempat di mana mereka telah menambang emas sebelumnya, telah dibuka ratusan kali lipat dengan orang-orang dari seluruh Indonesia, datang untuk mencari emas di sana. Jadi itu menjadi kekacauan besar, karena mereka menggunakan mesin air itu untuk menyemprot dan menusuk lereng bukit sampai emas itu didapatkan.

Dan saya lihat itu bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Jadi di mana pun saya melihat jalan-jalan besar, orang-orang datang dari seluruh penjuru di satu sisi pegunungan. Pemerintah memperkenalkan proyek-proyek seperti transmigrasi. Dan kemudian setelah itu datanglah seperti perkebunan kelapa sawit. Dan kemudian perusahaan-perusahaan pertambangan baik batu bara maupun emas. Dan bahkan di sisi lain, di mana pun perusahaan membuka jalan, orang-orang datang mencari kayu gelondongan untuk membuat papan dan bahan-bahan perkayuan.

Dan hal yang sangat menarik adalah bahwa salah satu yang paling saya kenal karena transisi pada pergantian abad, di mana hak-hak adat, perlindungan lingkungan, hal-hal ini bersatu untuk menciptakan gerakan yang cukup kuat. Dan mereka bisa mendapatkan bantuan untuk menjaga satu desa beberapa desa lainnya dari pembangunan jalan. Dan sebagai akbiatnya, ada banyak keberlanjutan sejarah, maksud saya, juga beberapa hal baru. Misalnya, telah terjadi revitalisasi adat dan lingkungan. Jadi semua orang tertarik dengan adat, bahkan mereka bahkan telah menyusun sebuah buku untuk itu dan mencantumkan berbagai istilah dan aktivitas yang terkait dengan adat. Dan orang-orang benar-benar terobsesi untuk mendapatkan cara lain selain pembangunan jalan. Jadi itu hal yang baru. Tetapi dalam hal desa-desa, yang belum terhubung ke jalan-jalan utama, saya melihat mereka masih berpegangan pada sistem mereka. Menggunakan ladang tanpa merusak hutannya. Selain itu, sebagai efek dari terciptanya jalan raya adalah banyak orang telah memeluk agama Islam atau Kristen di daerah-daerah dimana agama lokal masih cukup kuat. Jadi hal ini itu juga menarik, bahwa orang mampu mampu melindungi hubungan mereka dari invasi jalan raya dan perusahaan batu bara dengan cara tertentu seperti menanam padi, atau menjaga ladangnya.

CCFS:
Anda juga menyebutkan tentang adanya Dana Desa di hingga di pedalaman Kalimantan Selatan. Jadi, apakah ada juga perubahan pada mentalitas kerja masyarakat terhadap uang dan pembangunan. Sementara di sisi lain, Anda mengatakan bahwa orang-orang juga terobsesi dengan revitalisasi adat?

Anna Tsing:
Saya pikir orang-orang di desa ini berharap bahwa jika jalan utama datang, mereka akan dapat melindungi diri mereka sendiri dengan menggunakan adat. Meski saya juga tidak tidak yakin apakah jika itu benar. Karena bagaimana Anda menghentikan begitu banyak orang luar yang datang dan melakukan apa pun yang mereka ingin lakukan? Tapi itulah harapan mereka. Bahwa orang Dayak Meratus masih memiliki adat, yang mereka susuh dengan sangat hati-hati. Sehingga harapannya mereka akan mampu menangani situasi apa pun yang akan terjadi. Jadi ada hubungan antara revitalisasi adat sekaligus sebagai perlindungan dari perubahan yang datang dari luar.

Tapi ya, orang-orang telah menjadi sepenuhnya berorientasi pada pasar. Dan di tempat-tempat di mana ada jalan raya, disitulah terdapat pasar. Di akhir saya kunjungan saya kembali ke Kalimantan, terdapat seorang mahasiswa yang menyelesaikan skripsinya. Dan ia berkata, alasannya ingin penelitian di desa yang saya tinggali ini adalah karena masyarakat di kawasan Meratus ini mulai hanya peduli tentang ekonomi. Memang itu benar jika Anda berada tepat di jalan utama, yang terpenting adalah pasar dan ekonomi. Dan semuanya dapat dihancurkan demi ekonomi.

Namun, saya banyak bertanya tentang beberapa hal yang mungkin masih dihargai orang seperti ketika saya berada di sana sebelumnya, misalnya, semua jenis burung dan serangga dan beragam tanaman, orang masih tahu semuanya. Namun, meski mereka tahu, mereka tetap tidak terlalu peduli. Jadi mereka hanya perduli pada jenis jenis burung, tanaman ini hanya ketika mereka memiliki nilai di pasaran. Mungkin saya bisa menceritakan sebuah kisah ironis. Beberapa peneliti dari Singapura menghubungi saya sekitar setahun yang lalu tentang burung baru. Mereka telah menemukan seekor burung baru di pegunungan Meratus yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya. Dan para peneliti Singapoura ini menginginkan nama yang tepat untuk burung tersebut. Dan di daerah Meratus, burung itu disebut Sweet Damar. Dan para saintis akhirnya menyebutnya dengan dengan nama spesies baru Meratus. Jadi, itu adalah spesies baru. Nah, pada saat yang sama, saya mendapatkan informasi dari riset antropolog, Nils Bubandt, bahwa ada pasar yang sangat besar di Jawa untuk burung-burung yang dikurung, dan dilatih bernyanyi. Jadi, pada saat yang sama ketika burung Sweet Damar diidentifikasi, ia untuk pertama kalinya mendapat perhatian pasar yang sangat besar. Jadi semua orang di luar sana mencoba untuk memusnahkan burung yang baru saja diidentifikasi untuk pertama kalinya tahun lalu. Jadi yang paling ironis bagi saya adalah, hal yang dipikirkan orang adalah menangkap sebanyak mungkin jenis burung ini dengan berbagai cara. Cukup melelahkan setiap kali melihat, sesuatu yang mempunyai nilai pasar, kemudian segera dicari dan menjadi punah. Saya sempat ngobrol dengan kepala desa, yang mengatakan bahwa suatu saat ia akan menggunakan adat untuk melindungi burung ini. Namun saya dapat melihat betapa lambatnya gerakan ini dibanding kecepatan kebutuhan akan pasar yang membuat burung-burung punah dalam sekejap.

Penambangan Bukit Pasir di Kota Sorong. Papua Barat. Yang kini menjadi riset Anna Tsing (Foto: Anna Tsing, 2022)

CCFS:
Setelah anda menulis buku Friction (2004), anda membuat buku Mushroom at the end of World (2015) dan Feral Atlas (2021). Bagaimana jika anda menengok kembali buku anda Friction merujuk pada kondisi Kalimantan saat ini?

Anna Tsing:
Nah, ada dua isu yaitu etnografis dan teoritis yang bisa saya bicarakan. Untuk yang etnografis, saya terkejut selama kunjungan kembali ke Kalimantan. Betapa pentingnya beberapa kategori dalam buku Friction untuk menjelaskan yang masih ada di Kalimantan. Dan di satu sisi, saya berbicara tentang kekuatan komersialisasi sumber daya alam merusak bentuk-bentuk organisasi sosial. Dan di sisi lain, saya berbicara tentang gerakan-gerakan sosial untuk menentang hal itu, yang secara mengejutkan ternyata masih kuat. Meski mereka sudah tidak dalam kondisi puncak seperti 20 tahun yang lalu, tetapi sekarang mereka masih sangat banyak terlibat dalam banyak diskusi tentang bagaimana terus memperkuat titik-titik perlindungan lingkungan dengan beberapa cara. Jadi gerakan-gerakan itu masih kuat, tetapi tarikan kekuatan perusahaan sumber daya alam juga begitu besar, sehingga sangat besar untuk dilawan oleh berbagai gerakan adat dan lingkungan ini.

Secara teoritis. Sejak buku saya Friction (2004) terbit, dunia antropologi telah bergerak menjadi beberapa gerakan teoritis yang berbeda. Salah satunya yang paling terkenal disebut ontological turn. Dan saya pikir salah satu cara untuk menjelaskan pentingnya ontological turn adalah bahwa ontological turn, meminta kita untuk benar-benar serius dalam menanggapi bentuk-bentuk pengetahuan dan kedirian masyarakat lokal. sehingga kita tidak terlalu mendominasi dan menghujani mereka dengan beragam jenis teori akademis, tetapi sebaliknya menganggap pengetahuan dan kedirian merkea dengan sangat serius.

Dan saya pikir, khususnya di Amerika Latin, di mana gerakan ini sangat kuat, karena selama beberapa waktu, perspektif masyarakt indigenous tidak diberi nilai yang cukup. Selama ini kita melihatnya dari analisis pembangunan yang menganggap mereka masih kurang, pendekatan hibriditas dan hal-hal seperti itu. Jadi kita melihat bangkit dan pentingnya perspektif masyarakat adat. Dan saya pikir itu sangat penting. Di mana pendekatan ontological turn ini dapat melangkah jauh. Selama ini, antropologi selama bertahun-tahun yang lalu, melihat alam semesta secara terpisah. Setiap kelompok memiliki planetnya sendiri, seolah-olah mereka tidak berinteraksi satu sama lain. Jadi kadang-kadang menurut saya, peneliti bisa menggunakan wawasan ontologis untuk memisahkan jenis-jenis orang yang terlalu banyak. Dan di situlah kita membutuhkan gesekan (friction), lagi-lagi, karena bagi saya, interaksi-interaksi antar manusuia dan non manusia ini saling menggosok dan terjadi gesekan satu sama lain dalam koneksinya. Dan mungkin penting juga untuk berpikir tentang relasi nonmanusia, dalam hal ini. Dalam makalah yang saya ceritakan tentang burung , saya mencoba mengajukan sebuah pertanyaan. Meski ya, tentu saja, burung bukan manusia, mereka memiliki dunia dan perspektif mereka sendiri. Tapi mungkin ada semacam gesekan di sudut-sudut dunia burung dan manusia. Mungkin antara satu jenis manusia dan jenis manusia dan satu jenis manusia dengan satu jenis burung, terjadi semacam interaksi, semacam gesekan dalam terciptanya sebuah dunia yang sedang dibangun oleh keduanya. Jadi itulah mengapa saya pikir, sekarang lebih dari sebelumnya, kita perlu memikirkan tentang munculnya friction atau gesekan tersebut.

CCFS:
Ya. Oke. Jadi ide tentang friction atau gesekan mungkin relevan untuk proyek Anda berikutnya?.

Anna Tsing:
Ya, saya pikir begitu. Dan tentu saja, jika saya memutuskan untuk meneliti di Indonesia Timur, jika saya memasukkan ide tentang gesekan, di mana ada begitu banyak jenis orang, dan begitu banyak proyek yang bekerja pada saat yang sama, tentu akan begitu banyak terjadi membutuhkan gesekan.

CCFS:
Baik, ini adalah pertanyaan terakhir. Sepertinya selama beberapa tahun terakhir, Anda tertarik untuk belajar di Indonesia bagian timur. Baik dalam hal literatur dan melakukan studi lapangan. Bisakah Anda ceritakan sedikit apa yang membuat Anda tertarik untuk mempelajari Indonesia timur dan kepulauannya, hutan dan pesisir lautnya?

Anna Tsing:
Salah satu aspeknya adalah bagian timur Indonesia ini memiliki sejarah yang begitu kaya, tetapi jarang diakui sebagai hal yang penting sehingga jika Anda bahkan membaca sejarah Indonesia, biasanya mungkin akan dimulai dan memiliki sedikit bab tentang Portugis atau Spanyol dan Belanda bagian periode awal, tetapi kemudian Anda langsung masuk ke pemerintahan kolonial, dan era kemerdekaan. Dan untuk menyadari bahwa ada 500 tahun catatan tentang interaksi antara orang Eropa dan kesultanan di daerah Indonesia Timur, yaitu sejarah perdagangan di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, benar-benar bergantung pada hal-hal yang terjadi di Maluku. Dan itu tampaknya sangat menarik untuk dipelajari dan untuk memikirkan tentang, benang merah hubungan antara sejarah di Indonesia Timur dan masa kini. Dan, alasan kedua, Maluku, Papua Barat adalah daerah yang kaya akan sumber daya pesisir, terutama karena terumbu karang, hutan bakau, seluruh wilayah pesisir yang kaya, dengan sejarah panjang manusia, berinteraksi dengan spesies yang berbeda. Dan ketiga, ini adalah area yang dinamis dan berubah di mana begitu banyak perubahan terjadi sepanjang waktu sehingga Anda tidak bisa seorang diri untuk mencoba dan mengikuti perubahan yang begitu cepat yang sedang terjadi. Anda perlu kerjasama kolaborasi untuk menangkap hal tersebut.

CCFS:
Baiklah, terima kasih Anna. Tentu saja, kami para akademisi Indonesia menunggu inspirasi baru Anda dalam hal pendekatan etnografi dan juga diskusi teoritis. Semoga sukses untuk proyek penelitian Anda berikutnya.